Rabu, 18 Februari 2009

Kota Bukittinggi


Peta lokasi Kota Bukittinggi
Koordinat : 100,210° - 100,25° BT
00,160° - 100,25° LS
Motto: Saayun Salangkah'
Provinsi : Sumatera Barat
Luas : 25,24 km²
Penduduk
• Jumlah : 100.254 (2004)]
• Kepadatan : 3.970 jiwa/km²
Pembagian administrative :
• Kecamatan : 3
• Desa/kelurahan : 24

Geografi
Secara geografis Bukittinggi terletak antara 100,210 – 100,250 derajat bujur timur dan antara 00.760 – 00,190 derajat lintang selatan dengan ketinggian 909 – 941 meter diatas permukaan laut, berudara sejuk dengan suhu berkisar antara min 16,10 – 24,90 max
Kota Bukittinggi adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Kota ini memiliki luas wilayah 25,24 km² dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 100.000 jiwa. Letaknya sekitar 2 jam perjalanan lewat darat (90 km) dari ibukota provinsi Padang. Bukittinggi dikelilingi tiga gunung berapi yaitu Gunung Singgalang, Gunung Marapi dan Gunung Sago.
Kota yang merupakan kota kelahiran Bung Hatta, adalah sebuah kota budaya di Sumatera Barat dan terkenal dengan Jam Gadang yang merupakan simbol kota Bukittinggi.
Selain memiliki potensi objek wisata, kota berhawa sejuk ini merupakan salah satu daerah tujuan utama dalam bidang perdagangan di pulau Sumatera. Bukittinggi telah lama dikenal sebagai pusat penjualan konveksi yang tepatnya berada di Pasar aur kuning.
Sejarah
Semasa pemerintahan Belanda, Bukittinggi selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan, dari apa yang dinamakan Gemetelyk Resort berdasarkan Stbl tahun 1828. Belanda telah mendirikan kubu pertahanannya pada tahun 1825, yang sampai sekarang kubu pertahanan tersebut masih ada dam dikenal sebagai Benteng Fort De Kock. Kota ini telah digunakan juga oleh Belanda sebagai tempat peristirahatan opsir-opsir yang berada di wilayah jajahannya.[1]
Pada masa pemerintahan Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintah militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand, karena disini berkedudukan komandan Militer ke 25. Pada masa ini Bukittinggi berganti nama dari Taddsgemente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari Sianok, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba dan Bukit Batabuah yang sekarang kesemuanya itu kini berada dalam daerah Kabupaten Agam, di Kota ini pulalah bala tentara Jepang mendirikan pemancar radio terbesar untuk pulau Sumatera dalam rangka mengibarkan semangat rakyat untuk menunjang kepentingan perang Asia Timur Raya versi Jepang.[1]
Pada masa perjuangan kemerdekaan RI, Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan. Dari bulan Desember 1948 sampai dengan bulan Juni 1949, Bukittinggi ditunjuk sebagai ibukota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ( PDRI ), setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Selanjutnya Bukittinggi pernah menjadi ibukota propinsi Sumatera dengan gubernurnya Mr. Tengku Muhammad Hasan. Kemudian dalam PP Pengganti undang-undang No. 4 tahun 1959, Bukittinggi ditetapkan sebagai ibukota Sumatera Tengah yang meliputi keresidenan-keresidenan Sumatera Barat, Jambi dan Riau yang sekarang masing-masing keresidenan itu telah menjadi provinsi sendiri
Bukittinggi dalam kehidupan ketatanegaraan semenjak zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang serta zaman kemerdekaan dengan berbagai variasinya tetap merupakan pusat Pemerintahan Sumatera bahagian Tengah maupun Sumatera secara keseluruhan, bahkan Bukittinggi pernah berperan sebagai Pusat Pemerintahan Republik Indonesia setela Yogyajarta diduduki Belanda dari bulan Desember 1948 sampai dengan bulan Juni 1949.
Semasa pemerintahan Belanda dahulu, Bukittinggi oleh Belanda selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan, dari apa yang dinamakanGemetelyk Resort berdasarkan Stbl tahun 1828. Belanda telah mendirikan kubu pertahanannya tahun 1825, yang sampai sekarang kubu pertahanan tersebut masih dikenal dengan Benteng " Fort De Kock ". Kota ini telah digunakan juga oleh Belanda sebagai tempat peristirahatan opsir-opsir yang berada di wilayah jajahannya di timur ini.
Oleh pemerintah Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian Pemerintah militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand karena disini berkedudukan komandan Milioter ke 25. Pada masa ini Bukittinggi berganti nama dari Taddsgemente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari Sianok, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu taba dan Bukit Batabuah yang sekarang kesemuanya itu kini berada dalam daerah Kabupaten Agam, di Kota ini pulalah Pemerintah bala tebtara Jepang mendirikan pemancar Radio terbesar untuk pulau Sumatera dalam rangka mengibarkan semangat rakyat untuk menunjang kepentingan peramg Asia Timur Raya versi Jepang.
Pada zaman perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan. Dari bulan Desember 1948 sampai dengan bulan Juni 1949 ditunjuk sebagai Ibu Kota Pemerintahan darurat Republik Indonesia ( PDRI ), setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.
Selanjutnya Bukittinggi pernah menjadi Ibukota Propinsi Sumatera dengan Gubernurnya Mr. Tengku Muhammad Hasan. Kemudian dalam peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang No. 4 tahun 1959 Bukittinggi ditetapkan sebagai Ibu Kota Sumatera Tengah yang meliputi keresidenan-keresidenan Sumatera Barat, Jambi dan Riau yang sekarang masing-masing Keresidenan itu telah menjadi Propinsi-propinsi sendiri.
Setelah keresidenan Sumatera Barat dikembangkan menjadi Propinsi Sumatera Barat, maka Bukittinggi ditunjuk sebagai Ibu Kota Propinsinya,. semenjak tahun 1958 secara defacto Ibukota Propinsi telah pindah ke Padangnamun secara deyuire barulah tahun 1978 Bukittinggi tidak lagi menjadi Ibukota Propinsi Sumatera Barat, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1979 yang memindahkan Ibukota Propinsi Sumatera Barat ke Padang.
Sekarang ini Bukittinggi berstatus sebagai kota madya Daerah Tingkat II sesuai dengan undang-undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok Pemerintah di Daerah yang telah disempurnakan dengan UU NO. 22/99menjadi Kota Bukittinggi.

secara ringkas perkembangan Kota Bukittinggi dapat diloihat sebagai berikut :
A. Pada Masa Penjajahan Belanda
Semula sebagaiGeemente Fort De Kock dan kemudian menjadi Staadgemente Fort De Kock, sebagaimana diatur dalam Staadblad No. 358 tahun 1938 yang luas wilayahnya sama dengan wilayah Kota Bukittinggi sekarang.

B. Pada Masa Penjajahan Jepang
Pada masa ini Bukittinggi bernama Shi Yaku Sho yang wilayahnya lebih luas dari Kota Bukittingggi sekarang ditambah dengan nagari-nagari Sianok, Gadut, Ampang Gadang, BAtu taba dan Bukit Batabuah.

C. Pada Masa Kemerdekaan Sampai Sekarang
1. Pada masa permulaan proklamasi, luas wilayah Bukittinggi sama seperti sekarang ini dengan Waliktanya yang pertama yaitu Bermawi Sutan Rajo Ameh.
2. Kota Bukittinggi dengan ketetapan Gubernur Propinsi Sumatera No. 391 tanggal 9 Juni 1947 tentang pembentukan Kota Bukittinggi sebagai Kota yang berhak mengatur dirinya sendiri.
3. Kota Besar Bukittinggi sebagaimana yang diatur Undang-undang No. 9 tahun 1956 tentang Pembentukan Otonom Kota Besar Bukittinggi dalam lingkungan Propinsi Sumatera Tengah jo Undang-undang Pokok tentang Pemerintah Daerah No. 22 tahun1960.
4. Kotapraja Bukittinggi, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pemerintah Daerah No. 1 tahun 1957 jo. Pen. Prs. No. 6 tahun 1959 jo. Pen. prs. No. 5 tahun 1960.
5. Kotamadya Bukittinggi sebagai mana diatur dalam Undang-undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah.
Pimpinan Pemerintah Daerah, baik sebagai pejabat senentara ( Pjs ) atau sebagai pejabat (Pj), maupun sebagai Walikota Pilihan (KDH) dapat diterakan sebagai berikut :
1. Bermawi Sutan RAjo Ameh
2. Iskandar Teja KUsuma
3. Jamin Dt. BAgindo
4. Aziz Karim
5. Enin Karim
6. Saadudin Jambek
7. Nauman Jamil Dt. Mangkuto Ameh
8. MB. Dt. Majo Basa Nan Kuning
9. Syahbuddin LAtif Dt. Sibungsu
10. Dr. S. Rivai
11. Bahar Kamil Marah Sutan
12. Anwar Maksum Marah Sutan
13. M. Asril, SH
14. A. Kamal, SH
15. Drs. Masri
16. Drs. Oemar Gaffar
17. Drs. B. Barhanudin
18. Drs. Hasan Basri ( PLT. Walikota )
19. Armedi Agus
20. Drs. Rusdi Lubis ( PLT Walikota )
21. Drs. H. Djufri
22. Drs. H. Oktisir Sjovijerli Osir ( PLT. Walikota )
23. Drs. H. Djufri ( Sampai sekarang )
Dengan bermacam ragamnya status maupun fungsi yang diemban Bukittinggi seperti yang diuraikan diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa Bukittinggi memang cukup strategis letaknya dan ditunjang pula oleh hawanya yang sejuk, karenaterletak di jajaran Bukit Barisan.
Dilihat dari segi sosial kemasyarakatan, Bukitinggi tidak kurang pula perannya, baik dalam ukuran regional, Nasiopnal mupun Internasional. Dikota ini sering diadakan rapat-rapat kerja Pemerintah, Pertemuan-pertemuan ilmiah, kongres-kongres oleh organisasi kemasyarakatan dan lain sebagainya.

Mohammad Hatta
Perkembangan Bukittinggi tidak bisa dipisahkan dari toko ini, Dr.(H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta, lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902 – wafat di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Bandar udara internasional Jakarta menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasanya sebagai salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia.
Nama yang diberikan oleh orang tuanya ketika dilahirkan adalah Muhammad Athar. Anak perempuannya bernama Meutia Hatta menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta.
Hatta lahir dari keluarga ulama Minangkabau, Sumatera Barat. Ia menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu, Bukittinggi, dan pada tahun 1913-1916 melanjutkan studinya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang. Saat usia 13 tahun, sebenarnya ia telah lulus ujian masuk ke HBS (setingkat SMA) di Batavia (kini Jakarta), namun ibunya menginginkan Hatta agar tetap di Padang dahulu, mengingat usianya yang masih muda. Akhirnya Bung Hatta melanjutkan studi ke MULO di Padang. Baru pada tahun 1919 ia pergi ke Batavia untuk studi di Sekolah Tinggi Dagang "Prins Hendrik School". Ia menyelesaikan studinya dengan hasil sangat baik, dan pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke Rotterdam, Belanda untuk belajar ilmu perdagangan/bisnis di Nederland Handelshogeschool (bahasa inggris: Rotterdam School of Commerce, kini menjadi Universitas Erasmus). Di Belanda, ia kemudian tinggal selama 11 tahun.
Pada tangal 27 November 1956, Bung Hatta memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada di Yoyakarta. Pidato pengukuhannya berjudul "Lampau dan Datang".
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond Cabang Padang. Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. Di Batavia, ia juga aktif di Jong Sumatranen Bond Pusat sebagai Bendahara. Ketika di Belanda ia bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah berkembang iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Ernest Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai orang buangan akibat tulisan-tulisan tajam anti-pemerintah mereka di media massa.
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.
Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. “Aku kagum melihat cara Abdul Moeis berpidato, aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu setengah parau, terpesona oleh ayun katanya. Sampai saat itu aku belum pernah mendengarkan pidato yang begitu hebat menarik perhatian dan membakar semangat,” aku Hatta dalam Memoir-nya. Itulah Abdul Moeis: pengarang roman Salah Asuhan; aktivis partai Sarekat Islam; anggota Volksraad; dan pegiat dalam majalah Hindia Sarekat, koran Kaoem Moeda, Neratja, Hindia Baroe, serta Utusan Melayu dan Peroebahan.
Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas ia bertolak ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini, Hatta mulai aktif menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera, “Namaku Hindania!” begitulah judulnya. Berkisah perihal janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah musafir dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya. “Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga lebih mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku,” rutuk Hatta lewat Hindania.
Pemuda Hatta makin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam bacaan, pengalaman sebagai Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan asal Minangkabau yang mukim di Batavia, serta diskusi dengan temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan. Saban Sabtu, ia dan Bahder Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling kota, mereka bertukar pikiran tentang berbagai hal mengenai tanah air. Pokok soal yang kerap pula mereka perbincangkan ialah perihal memajukan bahasa Melayu. Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu diadakan suatu majalah. Majalah dalam rencana Bahder Djohan itupun sudah ia beri nama Malaya. Antara mereka berdua sempat ada pembagian pekerjaan. Bahder Djohan akan mengutamakan perhatiannya pada persiapan redaksi majalah, sedangkan Hatta pada soal organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun, “Karena berbagai hal cita-cita kami itu tak dapat diteruskan,” kenang Hatta lagi dalam Memoir-nya.
Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama dengan percetakan surat kabar Neratja. Hubungan itu terus berlanjut meski Hatta berada di Rotterdam, ia dipercaya sebagai koresponden. Suatu ketika pada medio tahun 1922, terjadi peristiwa yang mengemparkan Eropa, Turki yang dipandang sebagai kerajaan yang sedang runtuh (the sick man of Europe) memukul mundur tentara Yunani yang dijagokan oleh Inggris. Rentetan peristiwa itu Hatta pantau lalu ia tulis menjadi serial tulisan untuk Neratja di Batavia. Serial tulisan Hatta itu menyedot perhatian khalayak pembaca, bahkan banyak surat kabar di tanah air yang mengutip tulisan-tulisan Hatta.
Hatta mulai menetap di Belanda semenjak September 1921. Ia segera bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah tersedia iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai eksterniran akibat kritik mereka lewat tulisan di koran De Expres. Kondisi itu tercipta, tak lepas karena Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) menginisiasi penerbitan majalah Hindia Poetra oleh Indische Vereeniging mulai 1916. Hindia Poetra bersemboyan “Ma’moerlah Tanah Hindia! Kekallah Anak-Rakjatnya!” berisi informasi bagi para pelajar asal tanah air perihal kondisi di Nusantara, tak ketinggalan pula tersisip kritik terhadap sikap kolonial Belanda.
Di Indische Vereeniging, pergerakan putra Minangkabau ini tak lagi tersekat oleh ikatan kedaerahan. Sebab Indische Vereeniging berisi aktivis dari beragam latar belakang asal daerah. Lagipula, nama Indische –meski masih bermasalah– sudah mencerminkan kesatuan wilayah, yakni gugusan kepulauan di Nusantara yang secara politis diikat oleh sistem kolonialisme belanda. Dari sanalah mereka semua berasal.
Hatta mengawali karir pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922, lagi-lagi, sebagai Bendahara. Penunjukkan itu berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika terjadi pergantian pengurus Indische Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh Hermen Kartawisastra. Momentum suksesi kala itu punya arti penting bagi mereka di masa mendatang, sebab ketika itulah mereka memutuskan untuk mengganti nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging dan kelanjutannya mengganti nama Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah pilihan nama bangsa yang sarat bermuatan politik. Dalam forum itu pula, salah seorang anggota Indonesische Vereeniging mengatakan bahwa dari sekarang kita mulai membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau Nederland Indie.
Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda, dan di sinilah ia bersahabat dengan nasionalis India, Jawaharlal Nehru. Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan Hatta ditangkap pemerintah Belanda. Hatta akhirnya dibebaskan, setelah melakukan pidato pembelaannya yang terkenal: Indonesia Free.
Pada tahun 1932 Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Belanda kembali menangkap Hatta, bersama Soetan Sjahrir, ketua Club Pendidikan Nasional Indonesia pada bulan Februari 1934. Hatta diasingkan ke Digul dan kemudian ke Banda selama 6 tahun.
Pada tahun 1945, Hatta secara aklamasi diangkat sebagai wakil presiden pertama RI, bersama Bung Karno yang menjadi presiden RI sehari setelah ia dan bung karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena peran tersebut maka keduanya disebut Bapak Proklamator Indonesia.

Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal 18 Nopember 1945 di Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek

Buya Hamka
Dan satu lagi tokoh Fenomenal dari Minangkabau yang tak dapat dipisahkan dari perkembangan Bukittinggi dan Sumatera Barat, HAMKA (1908-1981) nama sebenarnya adalah Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah.Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya adalah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenal sebagai sebagai Haji Rasul, seorang Pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sepulangnya dari Makkah pada tahun 1906.
HAMKA pendidikan di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas 2. Ketika usia HAMKA 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Disitulah HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pelajaran agama di surau dan mesjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, RM Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo.
HAMKA adalah seorang guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. HAMKA kemudian dilantik pengajar di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957-1958. Setelah itu beliau dilantik sebagai Rektor Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau dilantik sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia dan aktif juga di Majlis Syura Muslim Indonesia (MASYUMI).
HAMKA lebih banyak belajar sendiri meliputi pelbagai bidang ilmu pengetahuan seperti falsafah, kesusastraan, sejarah, sosiologi dan politik baik Islam atau Barat.Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat mempelajari karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga beliau mempelajari karya sarjana Perancis, Inggeris, dan Jerman seperi Albert Camus, William James, Freud,Toynbee, Jean Sartre, Karl Marx dan Piere Loti. HAMKA juga rajin membaca dan bertukar fikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta HOS Chokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fakhrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang pemidato yang handal.
HAMKA juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau menyertai pertubuhan itu mulai tahu 1925 bagi menentang khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cawangan Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makasar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S. Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Jogjakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Julai 1957, Menteri Agama Indonesia iaitu Mukti Ali melantik HAMKA sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 kerana nasihatnya diketepikan oleh kerajaan Indonesia.
Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 apabila beliau menjadi anggota parti politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kemaraan kembali penjajah Belanda ke melalui pidato dan menyertai kegiatan gerila di dalam hutan di Medan . Pada tahun 1947, HAMKA dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, . Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, HAMKA telah dipenjarakan oleh Presiden Sukarno kerana dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mula menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.
HAMKA pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormat Doktor Honoris Causa, Universiti al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universiti Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno daripada kerajaan Indonesia.
HAMKA telah pulang ke rahmatullah pada 24 Julai 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk dan Singapura, turut dihargai.

Pariwisata
Bukittinggi memiliki julukan sebagai "kota wisata" karena banyaknya objek wisata yang terdapat di kota ini. Lembah Ngarai Sianok merupakan salah satu objek wisata utama. Taman Panorama yang terletak di dalam kota Bukittinggi memungkinkan wisatawan untuk melihat keindahan pemandangan Ngarai Sianok. Di dalam Taman Panorama juga terdapat gua bekas persembunyian tentara Jepang sewaktu Perang Dunia II yang disebut sebagai 'Lobang Jepang'.
Di Taman Bundo Kanduang terdapat replika Rumah Gadang yang berfungsi sebagai museum kebudayaan Minangkabau, kebun binatang dan benteng Fort de Kock yang dihubungkan oleh jembatan penyeberangan yang disebut Jembatan Limpapeh. Jembatan penyeberangan Limpapeh berada di atas Jalan A. Yani yang merupakan jalan utama di kota Bukittinggi
Pasar Atas berada berdekatan dengan Jam Gadang yang merupakan pusat keramaian kota. Di dalam Pasar Atas yang selalu ramai terdapat banyak penjual kerajinan bordir dan makanan kecil oleh-oleh khas Sumatera Barat seperti Keripik Sanjai yang terbuat dari singkong, serta Kerupuk Jangek (Kerupuk Kulit) yang terbuat dari kulit sapi atau kerbau dan [Karak Kaliang]], sejenis makanan kecil khas Bukittinggi yang berbentuk seperti angka 8.
Danau Maninjau terletak sekitar 36 km atau sekitar 45 menit perjalanan dengan mobil dari kota Bukittinggi. Secara geografis, Bukittinggi, terdiri dari bukit-bukit. Oleh sebab itu jalanya mendaki dan menurun, berdsarkan bukit itulah kemudian, pemerintahan dibagi (sebelum Orde Baru memecahnya ke dalam Kelurahan), ke dalam 5 jorong (Guguak Panjang, Mandiangin Koto Selayan, Bukit Apik Pintu Kabun, Aua Birugo, dan Tigo Baleh).
Dan pada saat ini juga telah dibangun pusat perbelanjaan modern di bukittinggi.
Hotel-hotel yang terdapat di kota Bukittinggi antara The Hills (sebelumnya Novotel), Hotel Pusako, dan hotel-hotel lainnya.
Gunung Singgalang
Gunung Singgalang merupakan sebuah gunung yang terdapat di provinsi Sumatera Barat, Indonesia dan mempunyai ketinggian 2,877 meter. Gunung Singgalang mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.
Dari bentuknya, gunung ini sangat mirip dengan Gunung Merbabu di Jawa Tengah. Gunung ini mempunyai telaga di puncaknya yang merupakan bekas kawah, Telaga itu dinamai Telaga Dewi. Singgalang sudah tidak aktif lagi dan hutannya sangat lembap karena kandungan air yang banyak.

Gunung Marapi
Gunung Marapi (juga dikenal sebagai Merapi atau Berapi) adalah gunung berapi yang terletak di Sumatra Barat, Indonesia. Gunung ini tergolong gunung yang paling aktif di Sumatra. Terletak di dekat Bukittinggi dan memiliki ketinggian 2891,3 m. Marapi sudah meletus lebih dari 50 kali sejak akhir abad 18.
Jam Gadang
Didirikan oleh Controleur Rook Maker pada tahun 1926 yang berlokasi di pusat kota, bangunan ini dirancang oleh Putra Minangkabau Jazid dan Sutan Gigih Ameh. Jam Gadang ini merupakan lambang Kota Wisata Bukittinggi yang dikelilingi oleh taman bunga dan pohon-pohon pelindung, yang dapat memberikan kesejukan dan berfungsi sebagai alun-alun kota. Dari puncaknya kita dapat rnenikmati dan menyaksikan betapa indahnya alam sekitar Bukittinggi vang dihiasi Gunung, Merapi, Gunung Singgalang, Gunung Sago dan Ngarai Sianok. Salah satu keunikan Jam Gadang adalah angka empat yang ditulis dengan empat buah angka satu Romawi yang seharusnya ditulis dengan angka empat Romawi.
Disekitar Jam Gadang ini juga telah dibangun taman yang menambah semarak dan indahnya lokasi tersebut dengan berbagai bunga dan pepohonan serta fasilitas tempat duduk dan digunakan untuk menikmati pemandangan kota yang sangat menawan, sambil menikmati makanan spesifik. Selain itu disekitar Jam Gadang terdapat Istana Bung Hatta atau Tri Arga dan terdapat sebuah plaza yaitu Plaza Bukittinggi.
Jam Gadang adalah sebuah menara jam yang merupakan markah tanah kota Bukittinggi dan provinsi Sumatra Barat di Indonesia. Simbol khas Sumatera Barat ini pun memiliki cerita dan keunikan karena usianya yang sudah puluhan tahun.
Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek Yazid Sutan Gigi Ameh. Peletakan batu pertama jam ini dilakukan putra pertama Rook Maker yang saat itu masih berumur 6 tahun. Jam ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur (Sekretaris Kota). Pada masa penjajahan Belanda, jam ini berbentuk bulat dan di atasnya berdiri patung ayam jantan, sedangkan pada masa pendudukan Jepang, berbentuk klenteng. Pada masa kemerdekaan, bentuknya berubah lagi menjadi ornamen rumah adat Minangkabau.
Ukuran diameter jam ini adalah 80 cm, dengan denah dasar 13x4 meter sedangkan tingginya 26 meter. Pembangunan Jam Gadang yang konon menghabiskan total biaya pembangunan 3.000 Gulden ini, akhirnya menjadi markah tanah atau lambang dari kota Bukittinggi. Ada keunikan dari angka-angka Romawi pada Jam Gadang ini. Bila penulisan huruf Romawi biasanya pada angka enam adalah VI, angka tujuh adalah VII dan angka delapan adalah VIII, Jam Gadang ini menulis angka empat dengan simbol IIII (umumnya IV).
Ngarai Sianok
Ngarai Sianok adalah sebuah lembah curam (jurang) yang terletak di jantung kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Lembah ini memanjang dan berkelok dari selatan ngarai Koto Gadang sampai di Ngarai Sianok Enam Suku, dan berakhir sampai Palupuh. Ngarai Sianok memiliki pemandangan yang indah dan menjadi salah satu objek wisata utama provinsi.
Jurang ini dalamnya sekitar 100 m membentang sepanjang 15 km dengan lebar sekitar 200 m dan merupakan bagian dari patahan yang memsiahkan Pulau Sumatra menjadi dua bagian memanjang (Patahan Semangko). Patahan ini membentuk dinding yang curam, bahkan tegak lurus dan membentuk lembah yang hijau - hasil dari gerakan turun kulit bumi (sinklinal) - yang dialiri Sungai Sianok yang airnya jernih. Di zaman kolonial Belanda, jurang ini disebut juga sebagai kerbau sanget, karena banyaknya kerbau liar yang hidup bebas di dasar ngarai.
Sungai Sianok kini bisa diarungi dengan menggunakan kano dan kayak yg disaranai oleh suatu organisasi olahraga air "Qurays". Rute yang ditempuh adalah dari Desa Lambah sampai Desa Sitingkai Batang Palupuh selama kira-kira 3,5 jam. Di tepiannya masih banyak dijumpai tumbuhan langka seperti rafflesia dan tumbuhan obat-obatan. Fauna yang dijumpai misalnya monyet ekor panjang, siamang, simpai, rusa, babi hutan, macan tutul, serta tapir.
Ngarai Sianok atau Lembah Pendiang merupakan suatu lembah yang indah, hijau dan subur. Didasarnya mengalir sebuah anak sungai yang berliku-liku menelusuri celah-celah tebing dengan latar belakang Gunung Merapi dan Gunung Singgalang. Keindahan alam Ngarai Sianok mempesona, sering dijadikan bahan imajinasi para pelukis dan diabadikan oleh para wisatawan untuk diambil foto-fotonya. Ngarai Sianok terletak di pusat Kota Bukittinggi dengan panjang ± 15 km, kedalaman ± 100 m dan lebar sekitar 200 m. Pada zaman penjajahan Belanda Ngarai Sianok dikenal sebagai Kerbau Sanget karena didasar ngarai terdapat banyak kerbau lia
Benteng Fort De Kock
Benteng ini didirikan oleh Kapten Bouer pada tahun 1825 pada masa Baron Hendrik Markus De Kock sewaktu menjadi komandan Der Troepen dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda, karena itulah benteng ini terkenal dengan nama Benteng Fort De Kock. Benteng yang terletak di atas Bukit Jirek ini digunakan oleh Tentara Belanda sebagai kubu pertahanan dari gempuran rakyat Minangkabau terutama sejak meletusnya perang Paderi pada tahun 1821-1837. Disekitar benteng masih terdapat meriam-meriam kuno periode abad ke 19. Dari lokasi wisata ini kita dapat menikmati Kota Bukittinggi dan daerah sekitarnya.
Taman Panorama
Taman Panorama yang baru saja selesai direvitalisasi berlokasi di Jl. Panorama yang berjarak 1 Km dari pusat Kota Bukittinggi. Dari dalam taman ini kita menikmati pemandangan yang indah dan mempesona terutama kearah lembah Ngarai Sianok dengan latar belakang Gunung Singgalang. Di lokasi ini terdapat kios-kios souvenir khas Minangkabau, warung makanan dan minuman, tempat duduk permanen, parkir dan fasilitas lainnya.
Rumah Gadang
Rumah Gadang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau, provinsi Sumatra Barat.Rumah ini memiliki keunikan bentuk arsitektur yaitu dengan atap yang menyerupai tanduk kerbau dibuat dari bahan ijuk. Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjuang (anjung) sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu rumah Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Anjuang pada keselarasan Bodi-Chaniago tidak memakai tongkat penyangga di bawahnya, sedangkan untuk golongan kesalarasan Koto-Piliang memakai tongkat penyangga. Hal ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda, salah satu golongan menganut prinsip pemerintahan yang hirarkies menggunakan anjuang yang memakai tongkat penyangga, pada golongan lainnya anjuang seolah-olah mengapung di udara.
Danau Maninjau
Danau Maninjau adalah sebuah danau di kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Danau ini terletak sekitar 140 kilometer sebelah utara Kota Padang, ibukota Sumatera Barat, 36 kilometer dari Bukittinggi, 27 kilometer dari Lubuk Basung, ibukota Kabupaten Agam. Maninjau yang merupakan danau vulkanik ini berada di ketinggian 461,50 meter di atas permukaan laut. Luas Maninjau sekitar 99,5 km² dan memiliki kedalaman maksimum 495 meter. Cekungannya terbentuk karena letusan Gunung yang bernama Sitinjau (menurut legenda setempat), hal ini dapat terlihat dari bentuk bukit sekeliling danau yang menyerupai seperti dinding. Menurut legenda di Ranah Minang, keberadaan Danau Maninjau berkaitan erat dengan kisah Bujang Sembilan.
Danau Maninjau merupakan sumber air untuk sungai bernama Batang Antokan. Di salah satu bagian danau yang merupakan hulu dari Batang Antokan terdapat PLTA Maninjau. Puncak tertinggi diperbukitan sekitar Danau Maninjau dikenal dengan nama Puncak Lawang. Untuk bisa mencapai Danau Maninjau jika dari arah Bukittinggi maka akan melewati jalan berkelok-kelok yang dikenal dengan Kelok 44 sepanjang kurang lebih 10 KM mulai dari Ambun Pagi sampai ke Maninjau.
Danau ini tercatat sebagai danau terluas kesebelas di Indonesia. Sedangkan di Sumatera Barat, Maninjau merupakan danau terluas kedua setelah Danau Singkarak yang memiliki luas 129,69 km² yang berada di dua kabupaten yaitu Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok. Di sekitar Danau Maninjau terdapat fasilitas wisata, seperti Hotel(Maninjau Indah Hotel, Pasir Panjang Permai) serta penginapan dan restoran

`Sejarah Minangkabau`


Usaha mencari dan menemukan nilai-nilai falsafah yang terkandung dalam adat Minangkabau sebagai salah satu corak kebudayaan Indonesia adalah penting, karena dalam pembangunan kita perlu mempergunakan bahan-bahan dasar Indonesia asli dan tidak meniru nilai luar yang tidak cocok atau dengan kata lain kita sebutkan, jangan sampai Indonesia bernafas keluar badan.

Hendaknya dengan kebudayaan jangan sampai kita menggunakan kebudayaan yang tidak cocok dengan nilai-nilai yang dimiliki bangsa kita yang pada akhirnya sulit dicerna dalam kehidupan.
Dasar falsafah kebudayaan Indonesia yang telah tumbuh dan ada di Indonesia ini harus ditemukan dan dipertinggi mutunya dan disesuaikan dengan kehendak dan tuntutan zaman.
Kebudayaan adalah jelmaan dari falsafah hidup suatu bangsa. Kebudayaan India berdasarkan falsafah India, kebudayaan Cina berdasarkan falsafah Cina dan demikian juga dengan hal kebudayaan yang lain yang ada di dunia ini.
Sehubungan dengan itu nyatalah pentingnya mencari dan menemukan falsafah apa yang menjadi dasar dari kebudayaan Indonesia dan jelas pula keberhasilan pembangunan dilaksanakan sesuai dan sejalan dengan kepribadian Indonesia dengan bangsa Indonesia hanya akan sanggup mengemukakan kepribadiannya dengan menggunakan falsafah kebudayaan.

Keterkaitan dengan sejarah Minangkabau
Kini kita mencoba mengungkap secara singkat sejarah Minangkabau. Dalam "Encyclopaedie Van Nederlandsch Oost-Indie" tahun 1918 mengenai sejarah Minangkabau hal 738 dst, terdapat ungkapan sebagai berikut :
Pada suatu massa diperkirakan dalam abad ke 14 dan 15 terdapat suatu kerajaan bernama Minangkabau yang daerah kekuasaannya meliputi Sumatera Tengah yang letaknya antara kerajaan Manjunto dan Sungai Singkel sebelah barat dan kerajaan Palembang dan Sungai Siak sebelah timur. Teras dari kerajaan yang besar ini terdiri dari kerajaan Minangkabau asli yang kira-kira meliputi daerah Padang darat sekarang ini dan raja-raja kerajaan inilah yang memperbesar daerah pengaruhnya dari barat sampai ketimur yaitu kerajaan Indrapura, Indragiri dan Jambi. Namum menurut dugaan pengaruh dari raja-raja Minangkabau terhadap daerah perbatasan tidaklah besar dan kesatuan kerajaan Minangkabau itu tidak lama bertahan.

Meskipun kerajaan Indrapura, Indragiri dan Jambi akhirnya berdiri sendiri mulai abad16 , tapi raja-rajanya memandang dengan khidmat dan keramat saudaranya raja di kerajaan Minangkabau sebagai yang utama diantara sesamanya.
Kerajaan Minangkabau semakin mengecil setelah seorang rajanya kawin dengan putri sulung raja Aceh yang menyerahkan sebagian daerahnya sebelah pantai sebagai hak turun temurun.
Pada abad ke 17 Belanda masuk kesini maka kerajaan Minangkabau tinggal hanya daerah aslinya saja lagi yaitu Padang Darat.
Menurut cerita turun temurun raja Minangkabau berasal dari Iskandar Zulkarnain (Alexander de Groote) yang mempunyai 3 orang putra masing masing Maharaja Alif menjadi raja di Turki (Rum atau Ruhum), Maharaja Depang menjadi raja di Cina dan Maharaja Diraja menjadi raja di Minangkabau. Bila benar hal demikian maka antara Turki, Cina dan Minangkabau mempunyai kaitan budaya yang perlu ditelusuri.Beberapa kaitan sejarah Minangkabau yang dapat kita ungkapkan disini, kita bagi dalam 2 fase :

A. Sebelum Kerajaan Minangkabau
Meskipun asal usul Raja Minangkabau sebelumnya tidak diketahui, akan tetapi puncak kejayaannya diketahui setelah abad 13 seperti kita ungkapkan diatas. Zaman ini disebut zaman Jawa-Hindu ketika mendaratnya suatu laskar Jawa yang dikirim raja Kertanegara dari Singosari dalam tahun Caka1197 ( 1275M).Ekspedisi ini berhasil sebab 11 tahun itu ditepi Batang Hari di pusat Sumatera atas perintah raja Jawa tersebut didirikan sebuah arca dari Amoghapaca dalam perkabaran yang berhubungan dengan itu disebut sebagai raja dari rakyat Sumatera. Mulawarmadewa yang dapat dianggap raja muda.Demikianpun Adityawarman (kira kira 1346 -1375 ) yang paling terkenal dari raja-raja sumatera ini dibawah pengaruh kekuasaan Jawa, setidak tidaknya pada pemerintahan permulaan pemerintahnya dalam negara Kertagama "Menangkabawa" disebut sebagai daerah taklukkan dari kerajaan Majapahit.
Salah satu bukti dari pengaruh Jawa Hindu pada zaman Adityawarman terdapat banyak peninggalan Hindu yang sekarang masih terdapat di Minangkabau. Tapi setelah zaman kejayaan itu tidak terdapat sedikitpun peninggalan sejarah raja Minangkabau. Apa sebabnya dan kapan berakhirnya kekuasaan raja Jawa Hindu itu meninggalkan Minangkabau tidak diketahui.

B. Sesudah Kerajaan Minangkabau
Setelah orang Belanda menetap di Sumatera dalam abad ke 17 terdengarlah kembali sesuatu terhadap kerajaan Minangkabau, berdasarkan keterangan Van Bezel sekitar tahun 1680 saat meninggalnya kaisar Alif raja dari Turki, akibatnya ada perselisisihan raja-raja Minangkabau, maka kerajaan Minangkabau terbagi tiga yakni: Sungai Tarab, Saruaso dan Pagaruyuang. Pada saat itu terjadi perpecahan dalam negeri dalam penetapan raja, hak untuk menduduki tahta tidak diakui oleh beberapa pembesar kerajaan (dagregister 1680 hal123 ,716 ,721 ). Kemungkinan pembagian kerajaan pada waktu itu tidak terjadi.

Asal Usul Nama Minangkabau
Salah seorang ahli sejarah Belanda M. Youstra dalam bukunya "Minangkabau Overzicht Van Land Geschiedenis en Volk" menulis halaman41 - 44sebagai berikut : Asal mula nama daerah ini yaitu Minangkabau berada dalam kegelapan. Diantara keterangan yang paling banyak mengandung kemungkinan kebenaran adalah dari Van Der Tuuk bahwa asal kata Minangkabau dari kata pinang Khabu yang berarti tanah asal.
Keterangan lain yang menghubungkan kata ini dengan "menang" (minang) dan "Kerbau" (kabau). Dari C.D. Blagden (Journal of straits branch of the royal asiatic society no.73 ) menyimpulkan bahwa nama Minangkabau pada kira kira pertengahan abad 13 pada saat jayanya kerajaan Minangkabau. Sedangkan jauh sebelumnya nama Minangkabau telah lama dikenal dalam cerita kuno. Bila ada masa kejayaan kebudayaan dan kekuasaan Hindu di Minangkabau, tapi sebaliknya pernah pula ada masa sebelumnya Sumatera berpengaruh terhadap Jawa. Masa itu pasti sebelum tahun 914 M, terbukti terdapatnya barang kuno. Hindu yang pada umumnya berasal dari kebudayaan budha. Peninggalan kuno di Muara Takus barangkali termasuk pada zaman ini, tetapi mungkin juga dari zaman setelah itu.
Falsafah Hidup Orang Minangkabau
Meski sejarah Minangkabau kurang jelas, namun dengan ungkapan petatah dan petitih, kita akan dapat mengetahui nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Melalui cara ini kita akan mengetahui tata cara hidup orang Minangkabau dari dahulu sampai sekarang. Menurut kita falsafah hidup ini penting dipelajari agar kita tahu bagaimana masyarakat Minangkabau mencapai kebahagian dari masa ke masa dan bagaimana pula sikapnya terhadap orang diluar lingkungannya. Bahkan lebih dari itu terdapat banyak falsafah hidup orang Minangkabau dengan wawasan nasional, regional dan International. Sebelum merinci satu persatu falsafah hidup didalam lingkungan orang Minangkabau, perlu diungkapkan yang bersifat umum seperti "alam takambang jadi guru" yang artinya semua orang bisa belajar dari alam sekitarnya. Falsafah seperti ini bisa dikatakan :
Tidak lekang karena panas
Tidak lapuk karena hujan
Beberapa falsafah hidup orang Minangkabau yang tertuang dalam berbagai pepatah berupa pelajaran dunia akhirat, sehingga dengan mengamalkan falsafah hidupnya orang Minangkabau akan mencapai hidup aman dan sentosa. Kedatangan agama Islam tidak sulit karena agama Islam bertujuan mengantarkan manusia dengan tujuan kebahagian dunia akhirat. Pelajaran Islam tinggal memantapkan syari'atnya saja, karenanya perkembangan Islam di Minangkabau selalu cocok dan juga lebih cepat dibanding daerah lain. Demikian kalau diperhatikan dengan seksama, maka seluruh dan fatwa adat Minangkabau yang merupakan dasar falsafah dari adat Minangkabau berdasarkan ayat-ayat Tuhan yang maha esa sama dengan ketentuan yang terdapat didalam alam.
Umpamanya :
Sekali air besar
Sekali tepian berubah
Sekali tahun beredar
Sekali musim bertukar

Jikalau usang di perbaharui
Jikalau lapuk ditupangi
Adat dipakai baru
Kain dipakai usang

Mendung dihulu tanda akan hujan
Terang dilangit tanda akan panas

Bila kita teliti secara seksama, maka dapat disimpulkan begitu jelinya para nenek moyang kita memperhatikan keadaan alam dan begitu juga melakukan antisipasi serta mencontohkan hidup manusia dengan alam sekelilingnya mencari yang baru yang sesuai dengan tuntutan zaman. Salah satu yang penting kita garis bawahi setiap orang Minangkabau menerima perubahan pengaruh agama dari pengaruh hindu ke agama pilihannya Islam yang sesuai falsafah "Alam Takambang Jadi Guru" tersebut diatas dengan penyesuaian ayat-ayat dalam Al-Qur'an. Dalam kitab suci Al-Qur'an banyak terdapat ayat ayat mengemukakan alam bagi siapa yang dapat membacanya. Sebagaimana juga dengan ayat yang pertama turun ke Nabi Muhammad yakni Iqra…bacalah, disini jelas ada perintah membaca yang tersirat maupun yang tersurat dari alam ini. Jadi jelaslah falsafah itu merupakan ilmu dan begitu banyaknya fatwa yang diwartakan nenek moyang orang Minangkabau mengkaji falsafah adatnya.

Karakter Orang Minangkabau
Karakter orang Minangkabau dikaitkan dari pepatah petitih Minangkabau. Adat Minangkabau yang matrilineal, dari melembanganya keturunan menurut ibu di Minangkabau maka berpantang setiap kaum pria tidur dirumah orang tua bila telah mulai dewasa. Bila keadaan masih memaksa harus tidur dirumah orang tua, maka tidak perlu merepotkan cukup tidur di beranda. Akibat dari keadaan tersebut pria Minangkabau terdorong untuk lebih cepat mencari nafkah hidup termasuk mencari punggung yang tidak tertutup. Sikap perantau orang Minangkabau ini tertuang dalam pepatah yakni :
Karantau madang dihulu
Berbuah berbunga belum
Merantau bujang dahulu
Dirumah berguna belum
Adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran Islam secara berangsur angsur hilang dengan semakin mantapnya ajaran Islam masuk dalam dirinya. Peninggalan sejarah tinggal peninngalan yang tidak perlu dipuji dan dipuja karena diketahui menyesatkan.
Falsafah hidup orang Minangkabau yang tertuang dalam pepatah dan petitih cukup banyak itu, perlu dikaji dan diteliti memperbaiki arahnya guna lebih bersih untuk diterapkan dan diwariskan pada generasi penerus.

Jumat, 06 Februari 2009

Menengok Tempat Lahir Orang Minangkabau

GERIMIS membasahi Batusangkar, ibu kota Kabupaten Tanah Datar, sejak siang. Perjalanan menuju Nagari Tuo Pariangan, yang disebut-sebut sebagai nagari tertua Minangkabau, sepanjang11 , 5kilometer, menyenangkan ketika udara semakin dingin dengan turunnya hujan


Menengok 'Tempat Lahir' Orang Minangkabau

GERIMIS membasahi Batusangkar, ibu kota Kabupaten Tanah Datar, sejak siang. Perjalanan menuju Nagari Tuo Pariangan, yang disebut-sebut sebagai nagari tertua Minangkabau, sepanjang 11 , 5kilometer, menyenangkan ketika udara semakin dingin dengan turunnya hujan.Suasana yang sejuk dengan panorama alam yang indah membuat perjalanan tak membosankan. Sepanjang mata memandang, hamparan sawah membentang di lereng-lereng bukit. Begitu pula Gunung Merapi, yang sore itu sebagian diselimuti kabut, menambah pesona keindahan alam Tanah Datar.Tak berapa lama, tibalah di jalan dengan gapura bertuliskan Kawasan Objek Wisata Tradisional Desa Minangkabau Nagari Tuo Pariangan.Lokasi Nagari Tuo ini hanya 100 meter dari Jalan Raya Batusangkar-Padang Panjang.Nagari tua ini berada di perlintasan antara Kota Batusangkar dan Padang Panjang. Untuk mencapai daerah ini dari Batusangkar, dengan menggunakan kendaraan perjalanan dapat ditempuh dalam waktu 45 menit.Jika dari Kota Padang, ibu kota Provinsi Sumatra Barat, dibutuhkan waktu2 , 5jam. Ada dua jalan yang dapat dilalui ke pusat Desa Pariangan. Pertama, gerbang desa yang ada di Dusun Biaro. Jalan beraspal yang agak menanjak ke arah Desa Padang Panjang dan hamparan sawah di kiri kanannya akan membawa kita ke permukiman penduduk. Sedangkan melalui arah jalan raya, kita akan menemukan bangunan pertama, yaitu kantor Kerapatan Adat Nagari yang sudah tidak terawat.Bila memandang dari atas bukit, tampak Nagari Tuo, Masjid Tua Ishlah bergaya dongson dari daratan Tibet dengan atapnya yang bertingkat, surau, dan rumah-rumah penduduk yang berarsitektur khas Minangkabau.Sementara itu, Gunung Merapi yang memayungi kawasan Nagari Pariangan bukan sembarang gunung. Gunung yang berdiri kukuh ini menyimpan banyak mitos masa silam Minangkabau sebagaimana tersurat dalam tambo (cerita rakyat). Bahkan, dalam tambo disebutkan bahwa turunnya nenek moyang orang Minangkabau berasal dari Gunung Merapi.Memang, tak ada jejak arkeologis yang menyebutkan bahwa asal usul nenek moyang berasal dari Gunung Merapi, seperti yang dikatakan Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Sumatra Barat dan Riau Marsis Sutopo. "Tidak ada jejak sejarah menyebutkan Pariangan sebagai Nagari Tuo Minangkabau. Itu hanya ada dalam tambo."Sebuah pantun adat dalam tambo mengatakan, Dimano titiak palito, di baliak telong nan batali, dari mano asa niniak kito, dari lereng Gunung Merapi (Dari mana titik pelita di balik lampu yang bertali, dari mana turun nenek kita, dari puncak Gunung Merapi).Entah benar atau tidak. Yang jelas, tambo tidak bisa diremehkan dalam penulisan sejarah Minangkabau. Pada penutupan Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau di Batusangkar, 7 Agustus1970 , Buya Hamka mengatakan bahwa sumber penulisan sejarah Minangkabau berasal dari, antara lain kitab-kitab tambo, peninggalan lama berupa artefak, prasasti, tutur paparan orang-orang tua, dan bahan-bahan dari penulisan asing.Pada seminar itu disebutkan bahwa definisi orang Minang adalah: "Moyangnya turun dari Gunung Merapi, sekarang berada dalam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan berkiblat ke Baitullah."Menurut tambo, masyarakat Minangkabau berasal dari keturunan Sultan Iskandar Zulkarnain. Iskandar Zulkarnain (Alexander The Great) adalah Raja Masedonia yang termasyhur sebagai penakluk dunia. Menurut catatan sejarah, ia hidup sekitar tahun356 - 323SM.Pariangan terletak di kaki lembah Gunung Merapi pada ketinggiaan 650 meter di atas permukaan laut, sehingga lapisan tanahnya subur akibat tumpahan abu vulkanik Gunung Merapi pada masa lalu.Sebagai kawasan wisata, pengunjung tidak saja akan menikmati bangunan-bangunan lama, tapi bisa menikmati air hangat melalui tempat pemandian-pemandian yang telah disiapkan.Selain itu, di daerah ini juga terdapat peninggalan sejarah seperti kuburan panjang Datuk Tantejo Gerhano, batu batikam, batu basurek, batu tigo luak, dan rumah gadang tertua di Minangkabau.Mengenai kuburan Datuk Tantejo Gerhano, menurut juru pelihara makam, Datuk Sampurno Marajo,43 , tidak ada orang yang pas mengukur panjang makam yang membujur dari arah utara ke selatan. "Ada yang mengatakan panjangnya 24 meter, tapi saya sendiri mengukurnya ada 29 meter."Melihat kondisi areal makam yang di kanan-kirinya ada beberapa buah batu sandaran, kata Marajo, dulunya di tempat tersebut tempat musyawarah terbuka yang dikenal dengan medan nan bapaneh. Tantejo Gerhano juga dikenal sebagai orang sakti. Dia dikenal pula sebagai arsitek Minangkabau pertama, kata Marajo, yang membuat Balai Adat Balairungsari di Desa Tabek, Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar.

Pembangunan Infrastruktur Kota Bukittinggi Pada Masa Kolonial Belanda

Kota Bukittinggi menarik untuk dibicarakan, bukan saja karena peran sejarah yang telah dimainkannya selama sejak kurun waktu satu setengah abad yang lalu, 2tetapi juga keberadaannya sebagai kota kedua di Sumatera Barat, setelah Padang yang menjadi ibukota provinsi itu. Sejak tiga dasa warsa yang lalu, Bukittinggi telah pula berkembang menjadi pusat perdagangan konveksi untuk kawasan Sumatera, sehingga disebut sebagai Tanah Abang II.

Selain itu dan yang selalu melekat padanya adalah sebagai kota wisata karena keelokan pemandangan alamnya dan kesejukan udaranya. Dahulu, pada masa kolonial Belanda, Fort de Kock demikian namanya pada waktu itu, terkenal dengan sebutan "Parijs van Sumatra". Sungguhpun demikian, pembangunan infrastruktur kota Bukittinggi yang signifikan dilakukan dua periode, yaitu masa kolonial Belanda dan masa Orde Baru. Sementara masa di antara kedua periode tersebut nyaris tidak ada pembangunan infrastrukturnya yang berarti, kecuali dibuatnya lobang pertahanan militer dan dibangunnya lapangan terbang oleh Pemerintahan Pendudukan Jepang. Oleh karena itu pada itu relatif tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Bahkan, Mochtar Naim mensinyalirnya bahwa kota itu mengalami involusi, karena arus urbanisasi dan diferensiasi sosial berjalan relatif sangat lamban.(2) Makalah ini mencoba untuk membahas pembangunan infrastruktur kota Bukittinggi selama masa Pemerintahan Hindia Belanda, khususnya setelah abad ke-20. Untuk itu, juga dibahas geografis, budaya, dan pertumbuhan kota Bukittinggi yang terkait dengan pembangunan infrastrukturnya tersebut.

2. Keadaan Geografis
Kota Bukittinggi terletak sekitar 91 km di sebelah Utara Kota Padang, yang menjadi pintu gerbang Sumatera Barat, karena di kota itulah terletak satu-satunya Bandar Udara Tabing dan Pelabuhan Laut Teluk Bayur. Oleh karena Bukittinggi terletak di daerah dataran tinggi,(3) sedangkan Padang di pesisir,(4) maka jalan raya dan jalur kereta api yang menghubungkan kedua kota itu memiliki banyak tanjakan dan tikungan, terutama ketika memasuki daerah cagar alam Lembah Anai yang terletak sekitar Km50 . Jalur kereta api itu terdiri dari tiga rel. Rel yang di tengahnya bergerigi dan berfungsi sebagai rem. Jalan raya itu dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun1833 ,(5) sedangkan jalur kereta api dibangun pada tahun1890 -an.(6) Akan tetapi, sejak tahun1970 -an fungsi kereta api sebagai angkutan umum semakin menurun dan sekarang sepenuhnya sudah digantikan oleh bus.
Letak astronomis Bukittinggi berada pada koordinat00 . 221–00 . 291LS dan990 . 521–1000 . 331BT.(7) Hal itu menunjukkan bahwa Bukittinggi berada di tengah Pulau Sumatera, yang terdiri dari rangkaian Pegunugan Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau itu. Posisinya itu juga sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan kota-kota Dataran Tinggi lainnya, seperti Payakumbuh, Padangpanjang, Batusangkar, dan Lubuksikaping.(8) Oleh karena itu Bukittinggi dapat dijangkau dalam waktu yang relatif singkat dari daerah-daerah Dataran Tinggi lainnya dan tidak mengherankan kalau Bukittinggi sepanjang sejarahnya memainkan peranan yang penting, baik sebagai pusat pemerintahan maupun pusat perdagangan dan pendidikan sejak masa Pemerintah Hindia Belanda.(9) Bukittingi memiliki topografis yang berbukit-bukit dan berlembah dengan ketinggian yang bervariasi antara 909 M sampai 941 M di atas permukaan laut.(10) Bukitnya berjumlah 27 buah,(11) yang letaknya tersebar dalam wilayahnya seluas5 , 2km2. Oleh karena itu seyogianyalah Bukittinggi beriklim sejuk dengan suhu berkisar antara 190C pada malam hari dan 220 C pada siang hari.(12) Sebelah Barat Bukittinggi terdapat Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75 M sampai 110 M. Ngarai Sianok ini berbelok-belok dan di dasarnya mengalir Batang Sianok dari arah Selatan ke Utara. Batang Sianok ini merupakan hulu Batang Masang yang bermuara di pantai Barat Sumatera (Samudera Indonesia). (13) Bagi penduduk yang tinggal di seberangnya, jika berkunjung ke Bukittinggi terlebih dahulu harus menuruni Ngarai Sianok. (14) Sebelah Selatan Bukittinggi terdapat Gunung Merapi (2. 850m. dpl), merupakan gunung tertinggi di Sumatera Barat, (15) dan dimitoskan oleh orang Minangkabau sebagai tempat asal usul nenek moyangnya.Selain Gunung Merapi terdapat Gunung Singgalang (2. 688m. dpl.) dan Gunung Sago (2. 240m. dpl), yang masing-masingnya terletak disebelah Barat dan Timurnya. Ketiga gunung itu dinamakan Tri Arga (tiga gunung) dan menjadi sebutan pula bagi kota Bukittinggi. (17) Di antara bukit-bukit di Bukittinggi dan Gunung Merapi itulah membentang Lembah Dataran Tinggi Agam yang subur. (18) Daerah ini dialiri oleh banyak sungai kecil yang bersumber dari pinggang Gunung Merapi dan dua di antaranya Batang Agam dan Batang Tambuo mengalir dalam wilayah Bukittinggi. Kedua anak sungai itu membentuk Batang Agam yang menjadi salah satu hulu Sungai Indragiri yang bermuara di pantai Sumatera Timur (Selat Sumatera).

3. Pertumbuhan Wilayah Kota Bukittingi
Cikal bakal kota Bukittinggi dimulai dari sebuah pasar, (19) yang didirikan dan dikelola oleh para penghulu Nagari Kurai. (20) Pada awalnya Pasar itu diadakan setiap hari Sabtu, kemudian setelah semakin ramai diadakan pula setiap hari Rabu. Oleh karena pasar itu terletak di salah satu "bukik nan tatinggi" (bukit yang tertinggi), maka lama kelamaan berubah menjadi Bukittinggi. (21) Akhirnya nama Bukittinggi itu pun digunakan untuk menyebut pasar, sekaligus masyarakat dan Nagari Kurai. Sebelum kedatangan Belanda di daerah Dataran Tinggi Agam (1823), pasar Bukittinggi telah ramai didatangi oleh pedagang dan penduduk sekitarnya. (22) Pada tahun 1926 Kapten Bauer, Kepala Opsir Militer Belanda untuk Dataran Tinggi Agam, mendirikan benteng Fort de Kock, (23) di Bukit Jirek yang terletak sekitar 300 m di sebelah Utara pasar Bukittinggi. Kawasan bukit itu diberikan oleh para penghulu Nagari Kurai kepada Kapten Bauer dengan perjanjian akan saling membantu dalam mengahadap Kaum Paderi. Sejak berdirinya Fort de Kock dan Belanda berhasil mengalahkan Kaum Paderi serta menguasai Minangkabau, maka perkembangan Bukittinggi pada tahap selanjutnya lebih ditentukan oleh kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Secara perlahan pemerintah kolonial memperluas "wilayahnya" dengan meminjam atau membeli tanah kepada para penghulu Nagari Kurai. Bahkan, pada kasus-kasus tertentu, "kepemilikan" tanahnya itu ditentukan secara sepihak oleh Belanda. Pada tahun 1856 Belanda meminjam tanah perbukitan yang terletak disekitar pasar Bukittinggi dan jika nanti tidak diperlukan lagi, maka Belanda akan mengembalikannya kepada para penghulu Nagari Kurai. (24) Tanah itu meliputi 7 (tujuh) bukit yang bertautan satu sama lainnya dan mempunyai lembah-lembah yang sempit. Ketujuh bukit itu adalah Bukit Jirek, Bukit Sarang Gagak, Bukit Tambun Tulang, Bukit Cubadak Bungkuak, Bukit Bulek, Bukit Malambuang, dan Bukit Parak Kopi. (25) Di atas ketujuh bukit itulah, secara bertahap Belanda membangun berbagai infrastruktur untuk kepentingan kolonialnya, seperti kantor dan perumahan, gudang-gudang kopi, los-los pasar, perkampungan Cina, dan India. (26) Akan tetapi, daerah itu tidak memiliki dataran yang luas untuk dijadikan berbagai keperluan militer. Oleh karena itu pada tahun 1861 Belanda membeli tanah dataran di bagian Selatan Bukittinggi dengan harga f.46 .090,-. (27) Daerah itu dibangun untuk perkantoran militer, lapangan, perumahan perwira, asrama, tangsi, rumah sakit, gedung sekolah, dan sebagainya.

Mengikuti perkembangan pembangunan berbagai infrastruktur itu, maka kota Bukittinggi juga semakin berkembang dan maju. Oleh karena itu pada tahun 1888 pemerintah menetapkan sebagai sebuah "kota" dengan batas-batas sebagai berikut :

a. Sebelah Timur Laut dan sebelah Utara yaitu dari sebelah barat Bandar Malang melalui pancang (tiang) yang bertanda A pada jalan dekat Kuburan Cina lama dengan pancang bertanda I terletak di jalan ke Kampung Palupuh. Dan dari sini satu garis lurus lagi ke pancang (tiang) yang bertanda B yang terdapat pada jalan kecil kuburan Belanda baru.

b. Sebelah Barat Laut, sebelah Barat dan Tenggara ialah jalan kecil (kuburan Belanda baru) tersebut di atas sampai ke kuburan Belanda baru. Dari sini batas sebelah Barat Daya dari kuburan Belanda tersebut sampai ke pancang bertanda D berhubungan dengan sebuah pancang berhuruf E. Berikutnya lebih kurang 240 m jauhnya di sebelah Barat jalan ke arah Padangpanjang.

c. Sebelah Selatan, dari pancang F ditarik satu garis lurus ke arah timur sampai denga titik temunya jalan arah ke Padangpanjang.

d. Sebelah Timur, dari titik temu tersebut di atas mengaliri Bandar Malang yang terbagi dua: pada Bandar yang sebelah Barat sampai ke tempat pertemuan Bandar ini dengan jalan Payakumbuh. (28) Pada tahun 1918 kota Bukittinggi ditetapkan statusnya sebagai sebuah Gemeente, (29) Pada tahun 1930 wilayah Gemeente Bukittinggi diperluas lagi sehingga menjadi5 , 2Km2. (30)

Adapun batas-batas wilayah kota Bukittinggi yang baru itu adalah :

a. Sebelah Utara: Dari pancang yang bertanda A, yaitu tempat dimana jalan dari kampung Pintu Kebun berbelok ke kampung Jirat, tepi utara jalan yang sekarang panjangnya 1470 m menuju ke timur sampai dipancang B (letaknya 50 m ke sebelah timur dari tempat dimana jalan berbelok ke selatan di atas ditarik ke selatan panjangnya 950 m sampai jalan Bukittinggi – Payakumbuh (pancang yang bertanda C). kemudian satu garis ditarik ke tenggara panjangnya 1875 m, sampai di pancang yang ad sekarang dari kampung Tarok ke kampung aur di sini bertanda C. b.

b. Sebelah Selatan: Tepi Selatan jalan yang ada sekarang dari pembelokan, pancang yang bertanda E, ke barat yang panjangnya 555 m, sampai ke pancang yang bertanda F (tempat yang letaknya 50 m ke Barat dari jalan Bukittinggi – Padangpanjang).

c. Sebelah Barat Daya dan Barat: Satu garis ditarik ke barat Laut panjangnya 790 m ke pancang yang bertanda G, kemudian tepi selatan jalan kecil dari pancangn yang bertanda C ke pancang bertanda H. kemudian garis sambungan dari pancang yang bermerek I, sepanjang pancang-pancang yang sudah ada sekarang. (yaitu dari 1 sampai 9 ke pancang yang bermerek J sampai pancang yang bermerek K panjang sama sekali 800 m dan penghabisan tepi Barat jalan dari pancang K menuju ke utara panjangnya 575 m sampai di pancang yang bertanda A. (31)

Pada masa Pemerintahan Militer Jepang wilayah daerah Bukittinggi diperluasnya dengan memasukkan 11 nagari yang terdapat di sekeliling Nagari Kurai. Kesebelas Nagari itu adalah Nagari Gaduik, Nagari Kapau, Nagari Biaro Gadang, Nagari Ampang Gadang, Nagari Balai Gurah, Nagari Batu Tebal, Nagari Taluk, Nagari Guguak, Nagari Ladang Laweh, Nagari Koto Gadang, dan Nagari Sianok. (32) Kebijakan Pemerintahan Jepang itu diikuti pula dengan menukar nama Fort de Kock dengan Bukittinggi Baru. (33) Akan tetapi, setelah kemerdekaan luas wilayah Bukittingi itu menjadi perdebatan yang serius. Batas-batas wilayah yang telah ditetapkan secara sepihak, baik oleh pemerintahan Hindia Belanda maupun oleh Jepang, meninggalkan masalah. Nagari-nagari yang pada masa pendudukan Jepand termasuk ke dalam wilayah kota Bukittinggi, menuntut otonominya masing-masing. Sementara kelima jorong yang terdapat di Nagari Kurai dijadikan pula sebagai suatu pemerintahan yang otonom. Adapun Bukittinggi ditetapkan pula sebagai sebuah Kotapraja yang juga otonom. (34) Oleh karena itu, pada masa awal kemerdekaan terjadi tumpang tindih tentang batas-batas wilayah kota Bukittinggi. Jika, dilihat prosesnya maka terdapat dua wilayah yang dapat dijadikan acuan wilayah kota itu. Pertama, wilayah Bukittinggi menurut batas-batas stadsgemeente tahun 1930. Kedua, wilayah Bukittinggi berdasarkan batas-batas kota pada masa pemerintahan Jepang. Selanjutnya, pada tanggal 22 Maret 1947 para penghulu kelima jorong dalam Nagari Kurai mengadakan musyawarah dan memutuskan bahwa otonomi Nagari Kurai harus dihidupkan kembali. (35) Kebijakan itu dimaksudkan untuk mengantisipasi bagi masuk atau tidaknya wilayah hukum adat Nagari Kurai V Jorong ke dalam wilayah Bukittinggi. Hal itu hal itu membuat semakin seriusnya masalah batas-batas wilayah kota itu. Melihat perkembangan itu, Residen Sumatera Barat, Mr. St. Moh. Rasyid mencoba untuk menjadi fasilitator bagi kelompok-kelompok yang "bertikai". Akhirnya, pada tanggal 29 Mei 1947 disetujuilah bahwa wilayah kota Bukittinggi sama dengan wilayah hukum adat Nagari Kurai V Jorong. Naskah keputusan itu disebut dengan "Naskah Kayu Kalek", karena pertemuan itu diadakan di Kayu Kalek. (36) Dengan demikian batas-batas kota Bukittinggi sama pula dengan batas-batas Nagari Kurai, yaitu: di sebelah Utara dengan Nagari Gaduik dan Nagari Kapau; di sebelah Timur dengan Nagari IV Angkek; di sebelah Selatan dengan Nagari Banuhampu dan Sungai Pua; di sebelah Barat dengan Nagari Koto Gadang, Guguak, dan Sianok. (37)

4. Pembangunan Infrastruktur Kota Bukittinggi
a. Pasar Bukittinggi
Pada awalnya secara pisik Pasar Bukittinggi masih sangat sederhana, yakni berupa warung-warung yang tonggaknya terbuat dari bambu atau kayu dan beratap daun rumbia atau daun ilalang. (38) Separuh bagian bawahnya didinding, sedang bagian atasnya dibiarkan terbuka, sehingga ketika pasar sudah usai kan terlihat kerangkanya. Warung itu akan ditinggal oleh pedagang selama seminggu, kemudian mereka akan datang pada hari (Sabtu dan Rabu) pasar berikutnya. Bagi pedagang yang tidak mempunyai warung, biasanya mereka menggelar dagangannya di atas tanah dengan beralaskan katidiang (bakul) atau daun pisang. (39) Upaya pertama yang dilakukan Belanda untuk mengembangkan Pasar Bukittinggi itu adalah dengan mendatarkan lokasinya sehingga terlihat semakin luas. Kemudian, di sekelilingnya dibangun jalan-jalan dan selokan-selokan. Untuk itu kepada pemilik pedati yang datang ke Bukittinggi diharuskan membawa batu dan pasir. Sedangkan pekerjanya adalah tenaga kerja rodi, yang didatangkan dari nagari-nagari dalam wilayah Onderafdeeling Agam Tua, seperti Nagari Banuhampu, Padanglua, Sariak, Guguak, Kototuo, dan IV Angkek. Selain itu, dipekerjakan juga para tahanan yang mendekam dalam tangsi Bukittinggi. (40)

Seiring dengan ditetapkannya batas-batas Bukittinggi (1888), maka pembangunan pasarnya juga semakin digiatkan. (41) Pada tahun 1890 dibangun sebuah loods (orang Minang menyebutnya dengan loih) di tengah pasar Bukittingi. Masyarakat menyebutnya dengan Loih Galuang (Los Melengkung) karena atapnya berbentuk setengah lingkaran (melengkung). (42) Biaya pembangunannya berasal dari Pasar Fonds dan pinjaman dari Singgalang Fonds (43) sebanyak f.400 ,-. Dana pinjaman itu digunakan untuk membeli bahan bangunan, seperti besi dan seng. Adapun bahan-bahan bangunan lainnya, seperti kayu, pasir, dan batu dibebankan kepada nagari-nagari dalam wilayah Onderafdeeling Oud Agam. Demikian juga pekerjanya diambil dari daerah itu. Mereka dipekerjakan sebagai tenaga rodi bersama-sama dengan para tahanan dari tangsi Bukittinggi. (44) Enam tahun kemudian (1896) dibangun lagi sebuah loods di bagian Timurnya. (45) Kedua los itu diperuntukan bagi pedagang kain, kelontong, dan sejenisnya. Pada tahun 1900 dibangun lagi sebuah loods yang khusus untuk menjual daging dan ikan basah, baik ikan air tawar maupun ikan laut. (46) Loods itu dibangun di pinggang bukit sebelah Timur supaya kotoran dan air limbahnya dapat dialirkan langsung ke selokan (bandar) yang mengalir di kaki bukit itu. Oleh karena lokasinya itu berada di kemiringan, maka pasar itu dinamakan oleh masyarakat dengan Pasar Teleng (Miring). Adapun rumah potongnya dibangun di sisi sebelah Selatan, persis si pinggir anak sungai, sehingga memudahkan pula untuk membuang kotoran dan sisa penyembelihan hewan. Sekitar 500 m ke arah Baratnya didirikan pula Pasar Ternak. Penataan Pasar Bukittinggi dilakukan secara besar-besaran pada masa pemerintahan Controleur Oud Agam, L.C. Westenenk (1901-1909). Lokasi pusat pasar diperluas dengan mendatarkan gundukan tanah bukit di sekitarnya. Warung-warung yang tidak teratur letaknya dirobohkan. (47) Sebagai gantinya dibangun beberapa loods dengan mengikuti topografis Bukittinggi yang berbukit itu, sehingga pasar Bukittinggi menjadi bertingkat-tingkat. Untuk menutupi biaya perbaikan dan pembangunan pasar Bukittinggi yang relatif besar itu, Controleur Westenenk meninjam uang kepada N.I. Escompto Maatschappij sebanyak f.12 .000’-. Sebagai jaminan diborohkannya pasar Bukittinggi. (48) Loods yang dibangun berjumlah sebanyak 6 buah. Masing-masingnya tiga loods dibangun bersebelahan dengan Loih Galuang, satu loods dibangun di sebelah Timur Laut yang lokasinya lebih rendah. Loods ini dibangun khusus untuk menampung pedagang ikan kering dan dinamakan dengan Loih Maco. (49) Adapun dua loods lainnya dibangun di kaki bukit sebelah Timur Laut, yang lokasinya relatif datar. Oleh karena letaknya lebih rendah maka dinamakan Pasar Bawah. Kedua loods yang dibangun sejajar membujur dari Utara ke Selatan, diperuntukkan bagi pedagang kelapa, beras, buah-buahan dan sayur-sayuran. Di dekat stasiun kecil kereta api (yang menuju ke Payakumbuh) muncul pula pasar yang dinamakan dengan Pasar Aua Tajungkang. Para pedagang diberikan hak sewa tanah sebesar f.1 ,-/tahun dan diizinkan untuk mendirikan kios sendiri. (50) Peluang itu disambut oleh para pedagang, sehingga bermunculanlah kios-kios para pedagang di sekitar pasar Bukittinggi. Pada tahun 1923 kios-kios pedagang yang terdapat di sisi Barat dan Timur Loih Galuang dirobohkan dan sebagai gantinya dibangun 8 (delapan) blok rumah toko. Di sebelah Barat terdiri dari empat 4 (empat) blok sejajar dan oleh masyarakat dinamakan Muka Pasar, sedangkan di sebelah Timur yang juga terdiri dari 4 (empat) blok tetapi berjajar dua, disebut Belakang Pasar. Untuk menghubungkan kedua Pasar Atas dan Pasar Bawah itu dibangun tiga lokasi anak tangga (orang Minang menyebutnya dengan janjang), yaitu Janjang 40 (karena jumlah anak tangga yang kecil sebanyak40 ) di sebelah Utara, Janjang Gantuang (sesungguhnya adalah jembatan penyeberangan, yang juga berterusan dengan beberapa anak tangga lainnya yang melewati Loods Daging) di sebelah Timur. Jembatan itu dibangun pada tahun 1932 oleh Controleur W.J. Cator (1931-1932). Selain itu masih ada beberapa anak tangga lainnya, yaitu Janjang Minang dan Janjang "Kampuang Cino" yang menghubungkan Pasar Atas dengan Kampung Cina di sebelah Barat. Dan, terakhir Janjang Gudang yang menghubungkan Pasar Atas dengan Jalan "Kampementslaan" di sebelah Selatan menuju Padang. Selain pedagang pribumi, pemerintah Hindia Belanda juga memberi izin kepada pedagang Cina dan Keling (India) untuk mendirikan kios-kios. Mereka juga diberikan hak sewa tanah dan untuk membangun toko dan rumah mereka di atasnya. Akan tetapi, lokasi pembangunan kios mereka telah ditentukan secara tersendiri. Para pedagang Cina ditempatkan di kaki bukit sebelah Barat membujur dari Selatan ke Utara. Daerah itu dikenal dengan nama Kampuang Cino (Kampung Cina/Pecinan). Adapun pedagang India ditempatkan di daerah kaki bukit sebelah Utara, melingkar dari arah Timur ke Barat. Daerah itu kemudian dikenal dengan nama Kampuang Kaliang (Kampung Keling).

b. Sekolah Raja dan yang lainnya
Salah satu sekolah yang sangat terkenal di Bukittinggi adalah Kweekschool atau Sekolah Guru. (51) Sekolah itu mulai dilaksanakan pada tanggal 1 April 1856 untuk mengantisipasi kekurangann guru di Sumatera Barat, baik secara kuntitas maupun kualitas. Pada waktu itu untuk ruang belajarnya digunakan gedung "rumah bicara", sebuah gedung yang didirikan untuk pertemuan para orang Belanda yang terletak di simpang jalan ke Panorama dan Kantor Asisten Residen. Gedung itu terdiri dari dua tingkat dan ruangan yang digunakan untuk belajar adalah yang lantai bawah. (52) Kegiatan belajar-mengajarnya sering terganggu, karena lantai atasnya sering digunakan untuk rapat oleh pemerintah. Pada tahun1873 dibangunlah sebuah kompleks Kweekschool di bagian Selatan Bukittinggi. (53) Bangunannya utamanya terdiri dari sebuah gedung untuk ruang belajar yang teridiri dari beberapa lokal. Komplek itu dilengkapi dengan membangun 50 kamar untuk murid-muridnya. Kamar ditambah bangunannya seiring dengan pertambahan jumlah muridnya, (54) sehingga pada tahun1908 , jumlahnya telah mencapai 74 buah. Pengasramaan itu dimaksudkan supaya para gurunya dapat memantau kegiatan para muridnya. (55) Kemudian antara tahun1880 - 1882dibangun 3 buah rumah dinas, yang masing-masingnya untuk guru ketiga, guru kedua, dan guru kepala. (56) Selain itu dibangun pula sebuah gedung Sekolah Privat (Externenschool) yang terletak di samping gedung utamanya. Sekolah itu dimaksudkan sebagai tempat praktek bagi murid-muridnya. (57) Dengan demikian, murid-murid Sekolah Raja tidak perlu pergi praktek ke rumah Sekolah Agam, yang jaraknya relatif jauh. Akan tetapi Sekolah Raja itu dikuidasi oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1933 dan sebagai gantinya didirikanlah M.U.L.O. (58) Selain sekolah Raja itu, sejak awal abad ke- 20seiring dengan dicanagkannya Politik Etis oleh pemerintah, maka didirikan pula Hollandsche Inlandsche School (HIS) di Jirek, HIS di dekat Rumah Sakit, HIS di dekat kantor Controleur, HIS di Panorama (Atas Ngarai), Europa School (di SMP Negeri 1 sekarang), Hollansche Chinese School (di belakang SMP Negeri 1 sekarang), dan sebagainya.
c. Kebun Binatang
Ide untuk mendirikan kebun binatang mulai muncul pada tanggal 3 Juli1929 . Pada waktu Asisten Residen Agam, Groeneveld yang juga merangkap sebagai Ketua Dewan Kota Bukittinggi, bertemu dengan J. Heck, seorang dokter hewan, dan Edwarf Jacobson, seorang hartawan Belanda. Mereka menyepakati untuk membangun sebuah kebun binatang untuk menambah daya tarik kota Bukittinggi. Groeneveld menyarankan supaya kebun binatang itu dibangun di Bukit Malambuang karena di (atau beberapa orang guru Melayu. Besluit van Gouverneur Generaal No.275 , tanggal 16 Desember1872 ). sana sudah ada Taman Bunga (Starmpark) yang dibangun pada tahun1900 . Taman itu berbentuk "segi tiga" dengan luas3 . 362meter2. Adapun batas-batasnya di sebelah Timur dengan Jalan Cindua Mato, sebelah Utara dengan Jalan Ofotan, dan sebelah Barat dengan Kampung Cina. Pada bulan Juli1929 , setelah beberapa kandang sudah selesai dibangun, maka mulailah difungsikan kebun binatang itu. Pada waktu itu binatang yang dipelihara adalah binatang kecil, seperti kelinci, ayam hutan, dan burung kuaw. Binatang besar dan buas, seperti harimau, macan tutul, beruang hitam, orang hutan, ular, buaya, anoa, dan banteng liar, baru dimasukan pada tahun 1931. Pada waktu itu dimasukkan harimau, macan tutul, beruang hitam, orang hutan, ular, buaya, anoa, banteng liar. Semakin lama koleksi satwa di kebun binatang semakin lengkap yang dipelihara, sehingga pada tahun 1941sudah tedapat 155 jenis satwa. Kebun binatang itu dilengkapi dengan sebuah Rumah Adat Minangkabau yang dibangun pada tahun1935 . Rumah adat itu berukuran36 , 5x 10 meter dan memiliki 7 gonjong dengan anjungan di kedua sisinya. Model rumah gadang itu dinamakan Rumah Gadang Gajah Maharam. Rumah Adat itu difungsikan sebagai museum yang mengoleksi berbagai hasil-hasil kebudayaan Minangkabau. Kemudian, pada tahun 1955 dan 1956 di halamannya dibangun pula dua buah lumbung: yaitu si bayau-bayau yang bertiang enam dan sitinjau laut yang bertiang empat. Pada waktu itu kebun binatang Bukittinggi tercatat sebagai yang terbersih dan terindah di Indonesia.

Akan tetapi sejak masa pemerintahan Jepang kebun binatang itu mulai terabaikan. Hal itu berlanjut pada masa Perang Kemerdekaan dan nasib kebun binatang itu semakin memprihatinkan. Melihat kondisi yang demikian para pembesar Belanda yang berada di Bukittinggi bermaksud untuk membawa semua satwa itu ke kebun binatang Rangunan, Jakarta. Beberapa kandang kerangkeng disiapkan untuk itu. Namun, bersamaan dengan itu Kerajaan Belanda menmberikan pengakuannya atas kedaulatan Indonesia, sehingga pemindahan itu tidak jadi terlaksana. Situasi politik itu telah menyelamatkan kebun binatang Bukittinggi dari kepindahannya. Sepanjang sejarahnya nama Kebun Binatang (1929) sudah berganti beberapa kali. Sebelumnya bernama Kebun Bunga (1900), kemudian ditukar menjadi Taman Puti Bungsu (1956), dan sekarang bernama Taman Bundo Kanduang (1970).

d. Jam Gadang
Jam Gadang atau Jam Besar yang menjadi landmark kota Bukittnggi dibangun pada tahun1926 . Arsiteknya, Yazid St. Gigiameh adalah seorang Minangkabau. Jam Gadang dibangun di atas puncak bukit yang tertinggi dan menghadap ke arah Gunung Merapi. Alas atau dasarnya memiliki diameter 13 m, puncaknya memiliki diameter80 cm, sedangkan tingginya 26 m. Jam Gadang ini merupakan hadiah dari Ratu Juliana kepada ControleurOud Agam, H.R. Rookmaker (1923-1927) yang sekaligus menjabat sebagai "walikota" Bukittinggi. Jam gadang berbentuk empat persegi dan masing-masing sisi di puncaknya dipasang sebuah jam besar. Oleh masyarakat setempat jam besar tersebut disebut Jam Gadang, sehingga bangunan itu lebih dikenal dengan nama Jam Gadang. Pada awalnya puncak Jam Gadang dibuat setengah lingkaran, seperti kubah masjid. Di atasnya dipasang sebuah patung ayam jago yang sedang berkokok dengan posisi menghadap ke Timur. Patung itu sengaja di buat demikian untuk menyindir masyarakat Agam Tuo yang kesiangan. Kemudian pemerintah Jepang menukar puncaknya itu dengan atap bertingkap, seperti pagoda. Setelah kemerdekaan atap Jam Gadang itu pun ditukar dengan gonjong rumah adat, sehingga mencerminkan nuansa keminangkabauannya. Selain itu, untuk mempercantik kota dibeli pula lampu mercuri untuk jalan raya, dibuat patung-patung harimau, dan taman air mancur. Dana yang dikeluarkan untuk membangun menara "Jam Gadang" dan membeli4 (empat) buah jam, dan membangun taman-taman kota mencapai f.15 .000,-59 Hal itu dapat dilakukan karena pendapatan pasar Bukittiggi semakin baik. Pada tahun 1926 sudah mencapai f.28 .000,-. 60Di sebelah Selatan pelataran Jam Gadang dibangun terminal bus. Terus ke arah Selatan terdapat bangunan kantor Asisten Residen Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan bersebelahan dengan rumah dinasnya. Komplek inilah yang sekarang dijadikan Istana Negara "Bung Hatta". Pada sebelah Barat pelataran Jam Gadang didirikan Pom Bensin yang bersebelahan dengan Kontor Polisi dan di seberangnya terdapat kantor Controleur Oud Agam. Pada sebelah Utara pelataran Jam Gadang dijadikan sebagai tempat perhentian bendi dan diseberangnya berdiri rumah toko dan Loih Galuang beserta beberapa loods lainnya. Sedangkan di bagian Timurnya terdapat jalan raya ke arah Selatan yang menjadi jalan utama di kota Bukittinggi.

e. Komplek Tentara
Pada awalnya komplek tentara/garnizun Belanda dibangun di sekitar Benteng de Kock sampai ke kaki bukit di bawahnya. Di sana dibangun rumah sakit, kolam renang, dan lapangan, serta kuburan Belanda. Akan tetapi sejak tahun1861 , setelah Belanda membeli kawasan Selatan Bukittinggi, komplek tentara itu dipindahkan ke sini. Di kawasan itu dibangun sejumlah rumah perwira, yang terletak di pinggir jalan utama, perkantoran tentara yang berhadapan dengan lapangan, serta beberapa blok asrama prajurit. Pada masa awal masa Pendudukan Jepang komplek tentara itu digunakan untuk lokasi Sekolah Militer Gyu gun. Sedangkan, setelah kemerdekaan dimanfaatkan untuk lokasi Sekolah Kadet.

5. Penutup
Bukittinggi merupakan sebuah kota dataran tinggi yang strategis, mempunyai pemandangan alam yang indah. Pada satu sisi, faktor alam ini telah menjadi pendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan kota Bukittinggi, sehingga menjadi kota terpenting di Sumatera Barat. Pada sisi lain, faktor alam itu pun menjadi penghambat perkembangan keruangan kotanya, kecuali ke arah Selatan yang daerahnya relatif datar. Daerah Selatan dapat disebut menjadi daerah yang terbuka karena didukung pula oleh posisinya yang mengarah ke Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat. Cikal bakal kota Bukittinggi dapat dirunut kepada pasar tradisional Nagari Kurai, yang kemudian berkembang menjadi jantung Kota Bukittinggi. Kemudian, setelah kedatangannya Belanda mengembangkan daerah itu menjadi kota dengan membangun berbagai infrastrukturnya, mulai dari perkantoran, pasar, jalan dan selokan, serta berbagai prasarana wisata. Pemanfataan keruangan kota secara secara tepat guna dan efektif telah menampilkan sosok kota yang alamidan berwawasan lingkungan. Akan tetapi, keserasian wajah kota Bukittinggi itu sekarang terabaikan, baik oleh warga maupun oleh pemerintahan kotanya karena lebih mengutamakan aspek ekonomi dari pada yang lainnya. Pembangunan berbagai infrastruktur kota, menjadi tidak efektif karena tidak mempertimbangkan topografisnya. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa permbangunan kota Bukititinggi sekarang dan juga kota-kota di Indonesia lainnya, terlihat kurang memperhatikan faktor kesejarahannya. Hal lain yang dapat dikemukakan bahwa dengan berkuasanya apemerintah kolonial Belanda juga telah merubah kepemilikan tanah di Bukittinggi. Tanah ulayat (harta pusaka) yang semula tidak boleh dipindahtangankan atas "tekanan" pemerintah (juga sekarang) tidak saja dapat disewakan, tetapi juga dapat diperjualbelikan. Pada akhirnya, penduduk asli Bukittinggi (masyarakat Kurai) juga mengalami peminggiran kerana semakin tingginya arus urbanisasi.

Kamis, 05 Februari 2009

Perkembangan Minangkabau

Koordinat : 0°U-102° LS, 98°-102° BT
Dasar hukum
Tanggal penting
Ibu kota : Padang
Luas : 42.297,30 km2
Perairan : 2,59%
Penduduk : 4.400.000 (1996)
Kepadatan : 104/km2
Kabupaten : 12
Kodya/Kota : 7
Kecamatan : 147
Kelurahan/Desa : 877
Suku : Suku Minang, Suku Guci, Suku Jambak, Suku Piliang, Suku Caniago, Suku Tanjung, Suku Koto, suku Malayu, suku Sikumbang
Agama : Islam (98%), Kristen (1,6%), Hindu (0,0032%), Buddha (0,26%)
Bahasa:
Bahasa Minangkabau,Bahasa Indonesia

Keanekaragaman hayati
Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati.Sebagian besar wilayahnya masih merupakan hutan alami dan dilindungi.
Ditetapkan berdasarkan Keppres No. 35 tahun 1986, kawasan Taman Raya Bung Hatta (TRBH) merupakan suatu kawasan cagar alam hutan primer Sumatra Barat yang berfungsi melestarikan plasma nutfah, perlindungan sumber daya alam, pendidikan dan penelitian, pembinaan cinta alam dan sekaligus sebagai tempat rekreasi.
Luas keseluruhan kawasan meliputi 70 ribu hektar, dengan konfigurasi bentang alamnya bergelombang ringan, agak curam sampai terjal dan berbukit-bukit dengan ketinggian 300 meter sampai dengan 200 meter di atas permukaan laut.
Di dalam kawasan TRBH mengalir 14 buah sungai, beberapa di antaranya bermuara ke Padang, seperti Batang Arau, Batang Kuranji, dan Batang Air Dingin. TRBH merupakan sebuah 'sorga' tropis yang menjanjikan dengan bentuk bentang alamnya yang bergelombang dan curam ditumbuhi oleh bermacam ragam jenis tanaman tropis yang masih asli dan dihuni oleh ratusan jenis binatang khas Pulau Sumatera.
Kondisi yang unik menjadikan kawasan ini sebagai medan jelajah dan pengamatan satwa liar. Di kawasan ini terdapat 352 jenis flora dan 170 jenis fauna yang dilindungi. Potensi daerah
Karena potensi sumber daya alam yang terbatas namun dikaruniai potensi pemandangan alam yang indah dan keunikan budaya, saat ini (2006) Sumatra Barat fokus pada pengembangan potensi pariwisata daerah.
Suku
Suku Minangkabau awalnya berasal dari dua suku utama: Koto Piliang dan Bodi Chaniago yang berbeda sistem. Suku Koto Piliang memakai sistem aristokrasi sedangkan Bodi Chaniago lebih bersifat demokrasi.
ekarang ini seiring perkembangan zaman, suku-suku tersebut juga berkembang menjadi banyak di antaranya Tanjuang, Chaniago, Koto, Piliang, Guci, Simabur, Sikumbang, Jambak, Malayu.

Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam keseharian ialah bahasa daerah yaitu Bahasa Minangkabau yang memiliki beberapa dialek, seperti dialek Bukittinggi, dialek Pariaman, dialek Pesisir Selatan dan dialek Payakumbuh.Sementara itu di daerah Mentawai yang berupa kepulauan dan terletak beberapa mil lepas pantai Sumatra Barat, bahasa yang digunakan adalah Bahasa Mentawai.

Agama
Mayoritas penduduk Sumatra Barat beragama Islam. Selain itu ada juga yang beragama Kristen, Hindu dan Buddha yang pada umumnya adalah para pendatang.

Musik
Nuansa Minangkabau yang ada di dalam setiap musik Sumatra Barat yang dicampur dengan jenis musik apapun saat ini pasti akan terlihat dari setiap karya lagu yang beredar di masyarat. Hal ini karena musik Minang bisa diracik dengan aliran musik jenis apapun sehingga enak didengar dan bisa diterima oleh masyarakat.Unsur musik pemberi nuansa terdiri dari instrumen alat musik tradisional saluang, bansi, talempong, rabab, dan gandang tabuik.. Musik Minangkabau berupa instrumentalia dan lagu-lagu dari daerah ini pada umumnya bersifat melankolis.Hal ini berkaitan erat dengan struktur masyarakatnya yang memiliki rasa persaudaraan, hubungan kekeluargaan dan kecintaan akan kampung halaman yang tinggi ditunjang dengan kebiasaan pergi merantau.Industri musik di Sumatra Barat semakin berkembang dengan munculnya seniman-seniman Minang yang bisa membaurkan musik modern ke dalam musik tradisional Minangkabau.Perkembangan musik Minang modern di Sumatra Barat sudah dimulai sejak tahun 1950'an ditandai dengan lahirnya Orkes Gumarang.Elly Kasim, Tiar Ramon dan Yan Juneid adalah penyanyi daerah Sumatra Barat yang terkenal di era 1970-an hingga saat ini.Diantara perusahaan rekaman yang mengembangkan musik Sumatra Barat adalah Minang Record yang terletak di kota Bukittinggi.Perusahaan-per
usahaan rekaman di Sumatra Barat antara lain: - Minang Record (Bukittinggi) - Tanama Record (Padang) - Gita Virma Record (Bukittinggi) - Planet Record (Padang) - Pitunang Record (Padang) - Sinar Padang Record (Padang) - Caroline Record (Padang)Saat ini para penyanyi, pencipta lagu, dan penata musik di Sumatra Barat bernaung dibawah organisasi PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi Pencipta lagu Penata musik Rekaman Indonesia) dan PARMI (Persatuan Artis Minang Indonesia).

Tarian
Tari tradisi bersifat klasik yang berasal dari Sumatra Barat yang ditarikan oleh kaum pria dan wanita umumnya memiliki gerakan aktif dinamis namun tetap berada dalam alur dan tatanan yang khas.Kekhasan ini terletak pada prinsip tari Minangkabau yang belajar kepada alam, oleh karena itu dinamisme gerakan tari-tari tradisi Minang selalu merupakan perlambang dari unsur alam.Pengaruh agama Islam, keunikan adat matrilineal dan kebiasan merantau masyarakatnya juga memberi pengaruh besar dalam jiwa sebuah tari tradisi Minangkabau.
Macam-macam tari tradisional dari Sumatra Barat meliputi: 1. Tari Piring 2. Tari Payung 3. Tari Randai 4. Tari Indang
Seni tari tradisional Pencak Silat dari Minangkabau merupakan penggabungan dari gerakan tari dan seni beladiri khas Minang.Pencak Silat di Minangkabau memiliki beberapa aliran, diantara nya aliran Harimau Kumango.Tarian ini biasanya sudah diajarkan kepada kaum pria di Minangkabau semenjak kecil hingga menginjak usia akil baligh (periode usia 6 hingga 12 tahun) untuk dijadikan bekal merantau.Saat ini seni tari pencak silat sudah mendunia dengan terbentuk nya federasi pencak silat sedunia IPSF (International Pencak Silat Federation).

Rumah Adat
Rumah adat Sumatra Barat disebut Rumah Gadang.

Senjata Tradisional
Senjata tradisional Sumatra Barat adalah Keris.

Makanan
Dalam dunia kuliner, Sumatra Barat terkenal dengan masakan Padang dan restoran Padang.Tersebar hampir diseluruh penjuru dunia dan terkenal dengan citarasa yang pedas.
Beberapa contoh makanan dari Sumatra Barat yang sangat populer adalah Rendang, Sate Padang dan Dendeng Balado.
Selain itu, Sumatra Barat juga memiliki ratusan resep, seperti Galamai, Wajik, Kipang Kacang, Bareh Randang, Rakik Maco, Karupuak Balado dan karupuak Sanjai. Makanan ciri khas masing-masing kota dan kabupaten di Sumatra Barat untuk dijadikan buah tangan (oleh-oleh) adalah: Kota Padang terkenal dengan buah Bengkuang dan Karupuak Balado, kota Padangpanjang terkenal dengan Sate nya, kota Bukittinggi dengan Karupuak Sanjai, Kota Payakumbuh dengan Galamai dan Bareh Rendang, Kabupaten Tanah Datar terkenal dengan Palai Rinuak dan Pensi, Kabupaten Pesisir Selatan dengan Rakik Maco, Kabupaten Agam dengan Lamang Limo Kaum dan Dakak-dakak Simabua nya.

Literatur
Literatur sejarah mengenai Sumatra Barat dan kebudayaan Minangkabau secara umum dapat dijumpai antara lain di Pusat Dokumentasi Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM), yang terletak di tengah-tengah objek wisata Perkampungan Minangkabau (Minangkabau Village), kota Padangpanjang, Sumatra Barat.
Di PDIKM banyak tersimpan informasi sejarah masyarakat Minangkabau khususnya semenjak abad 18 (periode penjajahan Belanda) hingga era 1980'an berupa dokumentasi foto mikrograf surat kabar, pakaian tradisional, kaset rekaman lagu daerah, dokumentasi surat-surat kepemerintahan dan alur sejarah masyarakat Minangkabau secara terperinci.
Literatur asing mengenai Sumatra Barat dan Minangkabau juga akan banyak didapatkan di Perpustakaan KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) Leiden, Belanda.

Senin, 12 Januari 2009

PT. Kharisma Gonjong Limo Tour and Travel



Alhamdulillah..
Akhirnya impian kami bersama untuk mendirikan sebuah wadah untuk mengakomodirkan semua perjalanan wisata telah tercapai. Sesuai dengan hobi dan minat kami di bidang traveling kami mencoba menghadirkan sebuah cita rasa tersendiri dalam perjalanan wisata yang telah ada. Gonjong Tour hadir pada tanggal 01 Januari,2007 dan dalam kurun waktu 2 tahun ini kami banyak mendapatkan pengalaman - pengalaman baru didalam bidang traveling ini, sambil terus berbenah dengan cara terus meningkatkan mutu dan pelayanan dengan tenaga profesional dibidangnya, akomodasi hotel yang lebih bervariasi, paket - paket wisata outbond and inbond tour yang competitife dan memuaskan sampai fasilitas transportasi yang bergengsi. Pada kesempatan ini kami mengharapkan suport dari para pelaku wisata baik dalam maupun luar negeri untuk dapat menciptakan, mempertahankan,menjaga serta menikmati semua tujuan - tujuan wisata kita bersama. Tks