Jumat, 06 Februari 2009

Pembangunan Infrastruktur Kota Bukittinggi Pada Masa Kolonial Belanda

Kota Bukittinggi menarik untuk dibicarakan, bukan saja karena peran sejarah yang telah dimainkannya selama sejak kurun waktu satu setengah abad yang lalu, 2tetapi juga keberadaannya sebagai kota kedua di Sumatera Barat, setelah Padang yang menjadi ibukota provinsi itu. Sejak tiga dasa warsa yang lalu, Bukittinggi telah pula berkembang menjadi pusat perdagangan konveksi untuk kawasan Sumatera, sehingga disebut sebagai Tanah Abang II.

Selain itu dan yang selalu melekat padanya adalah sebagai kota wisata karena keelokan pemandangan alamnya dan kesejukan udaranya. Dahulu, pada masa kolonial Belanda, Fort de Kock demikian namanya pada waktu itu, terkenal dengan sebutan "Parijs van Sumatra". Sungguhpun demikian, pembangunan infrastruktur kota Bukittinggi yang signifikan dilakukan dua periode, yaitu masa kolonial Belanda dan masa Orde Baru. Sementara masa di antara kedua periode tersebut nyaris tidak ada pembangunan infrastrukturnya yang berarti, kecuali dibuatnya lobang pertahanan militer dan dibangunnya lapangan terbang oleh Pemerintahan Pendudukan Jepang. Oleh karena itu pada itu relatif tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Bahkan, Mochtar Naim mensinyalirnya bahwa kota itu mengalami involusi, karena arus urbanisasi dan diferensiasi sosial berjalan relatif sangat lamban.(2) Makalah ini mencoba untuk membahas pembangunan infrastruktur kota Bukittinggi selama masa Pemerintahan Hindia Belanda, khususnya setelah abad ke-20. Untuk itu, juga dibahas geografis, budaya, dan pertumbuhan kota Bukittinggi yang terkait dengan pembangunan infrastrukturnya tersebut.

2. Keadaan Geografis
Kota Bukittinggi terletak sekitar 91 km di sebelah Utara Kota Padang, yang menjadi pintu gerbang Sumatera Barat, karena di kota itulah terletak satu-satunya Bandar Udara Tabing dan Pelabuhan Laut Teluk Bayur. Oleh karena Bukittinggi terletak di daerah dataran tinggi,(3) sedangkan Padang di pesisir,(4) maka jalan raya dan jalur kereta api yang menghubungkan kedua kota itu memiliki banyak tanjakan dan tikungan, terutama ketika memasuki daerah cagar alam Lembah Anai yang terletak sekitar Km50 . Jalur kereta api itu terdiri dari tiga rel. Rel yang di tengahnya bergerigi dan berfungsi sebagai rem. Jalan raya itu dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun1833 ,(5) sedangkan jalur kereta api dibangun pada tahun1890 -an.(6) Akan tetapi, sejak tahun1970 -an fungsi kereta api sebagai angkutan umum semakin menurun dan sekarang sepenuhnya sudah digantikan oleh bus.
Letak astronomis Bukittinggi berada pada koordinat00 . 221–00 . 291LS dan990 . 521–1000 . 331BT.(7) Hal itu menunjukkan bahwa Bukittinggi berada di tengah Pulau Sumatera, yang terdiri dari rangkaian Pegunugan Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau itu. Posisinya itu juga sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan kota-kota Dataran Tinggi lainnya, seperti Payakumbuh, Padangpanjang, Batusangkar, dan Lubuksikaping.(8) Oleh karena itu Bukittinggi dapat dijangkau dalam waktu yang relatif singkat dari daerah-daerah Dataran Tinggi lainnya dan tidak mengherankan kalau Bukittinggi sepanjang sejarahnya memainkan peranan yang penting, baik sebagai pusat pemerintahan maupun pusat perdagangan dan pendidikan sejak masa Pemerintah Hindia Belanda.(9) Bukittingi memiliki topografis yang berbukit-bukit dan berlembah dengan ketinggian yang bervariasi antara 909 M sampai 941 M di atas permukaan laut.(10) Bukitnya berjumlah 27 buah,(11) yang letaknya tersebar dalam wilayahnya seluas5 , 2km2. Oleh karena itu seyogianyalah Bukittinggi beriklim sejuk dengan suhu berkisar antara 190C pada malam hari dan 220 C pada siang hari.(12) Sebelah Barat Bukittinggi terdapat Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75 M sampai 110 M. Ngarai Sianok ini berbelok-belok dan di dasarnya mengalir Batang Sianok dari arah Selatan ke Utara. Batang Sianok ini merupakan hulu Batang Masang yang bermuara di pantai Barat Sumatera (Samudera Indonesia). (13) Bagi penduduk yang tinggal di seberangnya, jika berkunjung ke Bukittinggi terlebih dahulu harus menuruni Ngarai Sianok. (14) Sebelah Selatan Bukittinggi terdapat Gunung Merapi (2. 850m. dpl), merupakan gunung tertinggi di Sumatera Barat, (15) dan dimitoskan oleh orang Minangkabau sebagai tempat asal usul nenek moyangnya.Selain Gunung Merapi terdapat Gunung Singgalang (2. 688m. dpl.) dan Gunung Sago (2. 240m. dpl), yang masing-masingnya terletak disebelah Barat dan Timurnya. Ketiga gunung itu dinamakan Tri Arga (tiga gunung) dan menjadi sebutan pula bagi kota Bukittinggi. (17) Di antara bukit-bukit di Bukittinggi dan Gunung Merapi itulah membentang Lembah Dataran Tinggi Agam yang subur. (18) Daerah ini dialiri oleh banyak sungai kecil yang bersumber dari pinggang Gunung Merapi dan dua di antaranya Batang Agam dan Batang Tambuo mengalir dalam wilayah Bukittinggi. Kedua anak sungai itu membentuk Batang Agam yang menjadi salah satu hulu Sungai Indragiri yang bermuara di pantai Sumatera Timur (Selat Sumatera).

3. Pertumbuhan Wilayah Kota Bukittingi
Cikal bakal kota Bukittinggi dimulai dari sebuah pasar, (19) yang didirikan dan dikelola oleh para penghulu Nagari Kurai. (20) Pada awalnya Pasar itu diadakan setiap hari Sabtu, kemudian setelah semakin ramai diadakan pula setiap hari Rabu. Oleh karena pasar itu terletak di salah satu "bukik nan tatinggi" (bukit yang tertinggi), maka lama kelamaan berubah menjadi Bukittinggi. (21) Akhirnya nama Bukittinggi itu pun digunakan untuk menyebut pasar, sekaligus masyarakat dan Nagari Kurai. Sebelum kedatangan Belanda di daerah Dataran Tinggi Agam (1823), pasar Bukittinggi telah ramai didatangi oleh pedagang dan penduduk sekitarnya. (22) Pada tahun 1926 Kapten Bauer, Kepala Opsir Militer Belanda untuk Dataran Tinggi Agam, mendirikan benteng Fort de Kock, (23) di Bukit Jirek yang terletak sekitar 300 m di sebelah Utara pasar Bukittinggi. Kawasan bukit itu diberikan oleh para penghulu Nagari Kurai kepada Kapten Bauer dengan perjanjian akan saling membantu dalam mengahadap Kaum Paderi. Sejak berdirinya Fort de Kock dan Belanda berhasil mengalahkan Kaum Paderi serta menguasai Minangkabau, maka perkembangan Bukittinggi pada tahap selanjutnya lebih ditentukan oleh kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Secara perlahan pemerintah kolonial memperluas "wilayahnya" dengan meminjam atau membeli tanah kepada para penghulu Nagari Kurai. Bahkan, pada kasus-kasus tertentu, "kepemilikan" tanahnya itu ditentukan secara sepihak oleh Belanda. Pada tahun 1856 Belanda meminjam tanah perbukitan yang terletak disekitar pasar Bukittinggi dan jika nanti tidak diperlukan lagi, maka Belanda akan mengembalikannya kepada para penghulu Nagari Kurai. (24) Tanah itu meliputi 7 (tujuh) bukit yang bertautan satu sama lainnya dan mempunyai lembah-lembah yang sempit. Ketujuh bukit itu adalah Bukit Jirek, Bukit Sarang Gagak, Bukit Tambun Tulang, Bukit Cubadak Bungkuak, Bukit Bulek, Bukit Malambuang, dan Bukit Parak Kopi. (25) Di atas ketujuh bukit itulah, secara bertahap Belanda membangun berbagai infrastruktur untuk kepentingan kolonialnya, seperti kantor dan perumahan, gudang-gudang kopi, los-los pasar, perkampungan Cina, dan India. (26) Akan tetapi, daerah itu tidak memiliki dataran yang luas untuk dijadikan berbagai keperluan militer. Oleh karena itu pada tahun 1861 Belanda membeli tanah dataran di bagian Selatan Bukittinggi dengan harga f.46 .090,-. (27) Daerah itu dibangun untuk perkantoran militer, lapangan, perumahan perwira, asrama, tangsi, rumah sakit, gedung sekolah, dan sebagainya.

Mengikuti perkembangan pembangunan berbagai infrastruktur itu, maka kota Bukittinggi juga semakin berkembang dan maju. Oleh karena itu pada tahun 1888 pemerintah menetapkan sebagai sebuah "kota" dengan batas-batas sebagai berikut :

a. Sebelah Timur Laut dan sebelah Utara yaitu dari sebelah barat Bandar Malang melalui pancang (tiang) yang bertanda A pada jalan dekat Kuburan Cina lama dengan pancang bertanda I terletak di jalan ke Kampung Palupuh. Dan dari sini satu garis lurus lagi ke pancang (tiang) yang bertanda B yang terdapat pada jalan kecil kuburan Belanda baru.

b. Sebelah Barat Laut, sebelah Barat dan Tenggara ialah jalan kecil (kuburan Belanda baru) tersebut di atas sampai ke kuburan Belanda baru. Dari sini batas sebelah Barat Daya dari kuburan Belanda tersebut sampai ke pancang bertanda D berhubungan dengan sebuah pancang berhuruf E. Berikutnya lebih kurang 240 m jauhnya di sebelah Barat jalan ke arah Padangpanjang.

c. Sebelah Selatan, dari pancang F ditarik satu garis lurus ke arah timur sampai denga titik temunya jalan arah ke Padangpanjang.

d. Sebelah Timur, dari titik temu tersebut di atas mengaliri Bandar Malang yang terbagi dua: pada Bandar yang sebelah Barat sampai ke tempat pertemuan Bandar ini dengan jalan Payakumbuh. (28) Pada tahun 1918 kota Bukittinggi ditetapkan statusnya sebagai sebuah Gemeente, (29) Pada tahun 1930 wilayah Gemeente Bukittinggi diperluas lagi sehingga menjadi5 , 2Km2. (30)

Adapun batas-batas wilayah kota Bukittinggi yang baru itu adalah :

a. Sebelah Utara: Dari pancang yang bertanda A, yaitu tempat dimana jalan dari kampung Pintu Kebun berbelok ke kampung Jirat, tepi utara jalan yang sekarang panjangnya 1470 m menuju ke timur sampai dipancang B (letaknya 50 m ke sebelah timur dari tempat dimana jalan berbelok ke selatan di atas ditarik ke selatan panjangnya 950 m sampai jalan Bukittinggi – Payakumbuh (pancang yang bertanda C). kemudian satu garis ditarik ke tenggara panjangnya 1875 m, sampai di pancang yang ad sekarang dari kampung Tarok ke kampung aur di sini bertanda C. b.

b. Sebelah Selatan: Tepi Selatan jalan yang ada sekarang dari pembelokan, pancang yang bertanda E, ke barat yang panjangnya 555 m, sampai ke pancang yang bertanda F (tempat yang letaknya 50 m ke Barat dari jalan Bukittinggi – Padangpanjang).

c. Sebelah Barat Daya dan Barat: Satu garis ditarik ke barat Laut panjangnya 790 m ke pancang yang bertanda G, kemudian tepi selatan jalan kecil dari pancangn yang bertanda C ke pancang bertanda H. kemudian garis sambungan dari pancang yang bermerek I, sepanjang pancang-pancang yang sudah ada sekarang. (yaitu dari 1 sampai 9 ke pancang yang bermerek J sampai pancang yang bermerek K panjang sama sekali 800 m dan penghabisan tepi Barat jalan dari pancang K menuju ke utara panjangnya 575 m sampai di pancang yang bertanda A. (31)

Pada masa Pemerintahan Militer Jepang wilayah daerah Bukittinggi diperluasnya dengan memasukkan 11 nagari yang terdapat di sekeliling Nagari Kurai. Kesebelas Nagari itu adalah Nagari Gaduik, Nagari Kapau, Nagari Biaro Gadang, Nagari Ampang Gadang, Nagari Balai Gurah, Nagari Batu Tebal, Nagari Taluk, Nagari Guguak, Nagari Ladang Laweh, Nagari Koto Gadang, dan Nagari Sianok. (32) Kebijakan Pemerintahan Jepang itu diikuti pula dengan menukar nama Fort de Kock dengan Bukittinggi Baru. (33) Akan tetapi, setelah kemerdekaan luas wilayah Bukittingi itu menjadi perdebatan yang serius. Batas-batas wilayah yang telah ditetapkan secara sepihak, baik oleh pemerintahan Hindia Belanda maupun oleh Jepang, meninggalkan masalah. Nagari-nagari yang pada masa pendudukan Jepand termasuk ke dalam wilayah kota Bukittinggi, menuntut otonominya masing-masing. Sementara kelima jorong yang terdapat di Nagari Kurai dijadikan pula sebagai suatu pemerintahan yang otonom. Adapun Bukittinggi ditetapkan pula sebagai sebuah Kotapraja yang juga otonom. (34) Oleh karena itu, pada masa awal kemerdekaan terjadi tumpang tindih tentang batas-batas wilayah kota Bukittinggi. Jika, dilihat prosesnya maka terdapat dua wilayah yang dapat dijadikan acuan wilayah kota itu. Pertama, wilayah Bukittinggi menurut batas-batas stadsgemeente tahun 1930. Kedua, wilayah Bukittinggi berdasarkan batas-batas kota pada masa pemerintahan Jepang. Selanjutnya, pada tanggal 22 Maret 1947 para penghulu kelima jorong dalam Nagari Kurai mengadakan musyawarah dan memutuskan bahwa otonomi Nagari Kurai harus dihidupkan kembali. (35) Kebijakan itu dimaksudkan untuk mengantisipasi bagi masuk atau tidaknya wilayah hukum adat Nagari Kurai V Jorong ke dalam wilayah Bukittinggi. Hal itu hal itu membuat semakin seriusnya masalah batas-batas wilayah kota itu. Melihat perkembangan itu, Residen Sumatera Barat, Mr. St. Moh. Rasyid mencoba untuk menjadi fasilitator bagi kelompok-kelompok yang "bertikai". Akhirnya, pada tanggal 29 Mei 1947 disetujuilah bahwa wilayah kota Bukittinggi sama dengan wilayah hukum adat Nagari Kurai V Jorong. Naskah keputusan itu disebut dengan "Naskah Kayu Kalek", karena pertemuan itu diadakan di Kayu Kalek. (36) Dengan demikian batas-batas kota Bukittinggi sama pula dengan batas-batas Nagari Kurai, yaitu: di sebelah Utara dengan Nagari Gaduik dan Nagari Kapau; di sebelah Timur dengan Nagari IV Angkek; di sebelah Selatan dengan Nagari Banuhampu dan Sungai Pua; di sebelah Barat dengan Nagari Koto Gadang, Guguak, dan Sianok. (37)

4. Pembangunan Infrastruktur Kota Bukittinggi
a. Pasar Bukittinggi
Pada awalnya secara pisik Pasar Bukittinggi masih sangat sederhana, yakni berupa warung-warung yang tonggaknya terbuat dari bambu atau kayu dan beratap daun rumbia atau daun ilalang. (38) Separuh bagian bawahnya didinding, sedang bagian atasnya dibiarkan terbuka, sehingga ketika pasar sudah usai kan terlihat kerangkanya. Warung itu akan ditinggal oleh pedagang selama seminggu, kemudian mereka akan datang pada hari (Sabtu dan Rabu) pasar berikutnya. Bagi pedagang yang tidak mempunyai warung, biasanya mereka menggelar dagangannya di atas tanah dengan beralaskan katidiang (bakul) atau daun pisang. (39) Upaya pertama yang dilakukan Belanda untuk mengembangkan Pasar Bukittinggi itu adalah dengan mendatarkan lokasinya sehingga terlihat semakin luas. Kemudian, di sekelilingnya dibangun jalan-jalan dan selokan-selokan. Untuk itu kepada pemilik pedati yang datang ke Bukittinggi diharuskan membawa batu dan pasir. Sedangkan pekerjanya adalah tenaga kerja rodi, yang didatangkan dari nagari-nagari dalam wilayah Onderafdeeling Agam Tua, seperti Nagari Banuhampu, Padanglua, Sariak, Guguak, Kototuo, dan IV Angkek. Selain itu, dipekerjakan juga para tahanan yang mendekam dalam tangsi Bukittinggi. (40)

Seiring dengan ditetapkannya batas-batas Bukittinggi (1888), maka pembangunan pasarnya juga semakin digiatkan. (41) Pada tahun 1890 dibangun sebuah loods (orang Minang menyebutnya dengan loih) di tengah pasar Bukittingi. Masyarakat menyebutnya dengan Loih Galuang (Los Melengkung) karena atapnya berbentuk setengah lingkaran (melengkung). (42) Biaya pembangunannya berasal dari Pasar Fonds dan pinjaman dari Singgalang Fonds (43) sebanyak f.400 ,-. Dana pinjaman itu digunakan untuk membeli bahan bangunan, seperti besi dan seng. Adapun bahan-bahan bangunan lainnya, seperti kayu, pasir, dan batu dibebankan kepada nagari-nagari dalam wilayah Onderafdeeling Oud Agam. Demikian juga pekerjanya diambil dari daerah itu. Mereka dipekerjakan sebagai tenaga rodi bersama-sama dengan para tahanan dari tangsi Bukittinggi. (44) Enam tahun kemudian (1896) dibangun lagi sebuah loods di bagian Timurnya. (45) Kedua los itu diperuntukan bagi pedagang kain, kelontong, dan sejenisnya. Pada tahun 1900 dibangun lagi sebuah loods yang khusus untuk menjual daging dan ikan basah, baik ikan air tawar maupun ikan laut. (46) Loods itu dibangun di pinggang bukit sebelah Timur supaya kotoran dan air limbahnya dapat dialirkan langsung ke selokan (bandar) yang mengalir di kaki bukit itu. Oleh karena lokasinya itu berada di kemiringan, maka pasar itu dinamakan oleh masyarakat dengan Pasar Teleng (Miring). Adapun rumah potongnya dibangun di sisi sebelah Selatan, persis si pinggir anak sungai, sehingga memudahkan pula untuk membuang kotoran dan sisa penyembelihan hewan. Sekitar 500 m ke arah Baratnya didirikan pula Pasar Ternak. Penataan Pasar Bukittinggi dilakukan secara besar-besaran pada masa pemerintahan Controleur Oud Agam, L.C. Westenenk (1901-1909). Lokasi pusat pasar diperluas dengan mendatarkan gundukan tanah bukit di sekitarnya. Warung-warung yang tidak teratur letaknya dirobohkan. (47) Sebagai gantinya dibangun beberapa loods dengan mengikuti topografis Bukittinggi yang berbukit itu, sehingga pasar Bukittinggi menjadi bertingkat-tingkat. Untuk menutupi biaya perbaikan dan pembangunan pasar Bukittinggi yang relatif besar itu, Controleur Westenenk meninjam uang kepada N.I. Escompto Maatschappij sebanyak f.12 .000’-. Sebagai jaminan diborohkannya pasar Bukittinggi. (48) Loods yang dibangun berjumlah sebanyak 6 buah. Masing-masingnya tiga loods dibangun bersebelahan dengan Loih Galuang, satu loods dibangun di sebelah Timur Laut yang lokasinya lebih rendah. Loods ini dibangun khusus untuk menampung pedagang ikan kering dan dinamakan dengan Loih Maco. (49) Adapun dua loods lainnya dibangun di kaki bukit sebelah Timur Laut, yang lokasinya relatif datar. Oleh karena letaknya lebih rendah maka dinamakan Pasar Bawah. Kedua loods yang dibangun sejajar membujur dari Utara ke Selatan, diperuntukkan bagi pedagang kelapa, beras, buah-buahan dan sayur-sayuran. Di dekat stasiun kecil kereta api (yang menuju ke Payakumbuh) muncul pula pasar yang dinamakan dengan Pasar Aua Tajungkang. Para pedagang diberikan hak sewa tanah sebesar f.1 ,-/tahun dan diizinkan untuk mendirikan kios sendiri. (50) Peluang itu disambut oleh para pedagang, sehingga bermunculanlah kios-kios para pedagang di sekitar pasar Bukittinggi. Pada tahun 1923 kios-kios pedagang yang terdapat di sisi Barat dan Timur Loih Galuang dirobohkan dan sebagai gantinya dibangun 8 (delapan) blok rumah toko. Di sebelah Barat terdiri dari empat 4 (empat) blok sejajar dan oleh masyarakat dinamakan Muka Pasar, sedangkan di sebelah Timur yang juga terdiri dari 4 (empat) blok tetapi berjajar dua, disebut Belakang Pasar. Untuk menghubungkan kedua Pasar Atas dan Pasar Bawah itu dibangun tiga lokasi anak tangga (orang Minang menyebutnya dengan janjang), yaitu Janjang 40 (karena jumlah anak tangga yang kecil sebanyak40 ) di sebelah Utara, Janjang Gantuang (sesungguhnya adalah jembatan penyeberangan, yang juga berterusan dengan beberapa anak tangga lainnya yang melewati Loods Daging) di sebelah Timur. Jembatan itu dibangun pada tahun 1932 oleh Controleur W.J. Cator (1931-1932). Selain itu masih ada beberapa anak tangga lainnya, yaitu Janjang Minang dan Janjang "Kampuang Cino" yang menghubungkan Pasar Atas dengan Kampung Cina di sebelah Barat. Dan, terakhir Janjang Gudang yang menghubungkan Pasar Atas dengan Jalan "Kampementslaan" di sebelah Selatan menuju Padang. Selain pedagang pribumi, pemerintah Hindia Belanda juga memberi izin kepada pedagang Cina dan Keling (India) untuk mendirikan kios-kios. Mereka juga diberikan hak sewa tanah dan untuk membangun toko dan rumah mereka di atasnya. Akan tetapi, lokasi pembangunan kios mereka telah ditentukan secara tersendiri. Para pedagang Cina ditempatkan di kaki bukit sebelah Barat membujur dari Selatan ke Utara. Daerah itu dikenal dengan nama Kampuang Cino (Kampung Cina/Pecinan). Adapun pedagang India ditempatkan di daerah kaki bukit sebelah Utara, melingkar dari arah Timur ke Barat. Daerah itu kemudian dikenal dengan nama Kampuang Kaliang (Kampung Keling).

b. Sekolah Raja dan yang lainnya
Salah satu sekolah yang sangat terkenal di Bukittinggi adalah Kweekschool atau Sekolah Guru. (51) Sekolah itu mulai dilaksanakan pada tanggal 1 April 1856 untuk mengantisipasi kekurangann guru di Sumatera Barat, baik secara kuntitas maupun kualitas. Pada waktu itu untuk ruang belajarnya digunakan gedung "rumah bicara", sebuah gedung yang didirikan untuk pertemuan para orang Belanda yang terletak di simpang jalan ke Panorama dan Kantor Asisten Residen. Gedung itu terdiri dari dua tingkat dan ruangan yang digunakan untuk belajar adalah yang lantai bawah. (52) Kegiatan belajar-mengajarnya sering terganggu, karena lantai atasnya sering digunakan untuk rapat oleh pemerintah. Pada tahun1873 dibangunlah sebuah kompleks Kweekschool di bagian Selatan Bukittinggi. (53) Bangunannya utamanya terdiri dari sebuah gedung untuk ruang belajar yang teridiri dari beberapa lokal. Komplek itu dilengkapi dengan membangun 50 kamar untuk murid-muridnya. Kamar ditambah bangunannya seiring dengan pertambahan jumlah muridnya, (54) sehingga pada tahun1908 , jumlahnya telah mencapai 74 buah. Pengasramaan itu dimaksudkan supaya para gurunya dapat memantau kegiatan para muridnya. (55) Kemudian antara tahun1880 - 1882dibangun 3 buah rumah dinas, yang masing-masingnya untuk guru ketiga, guru kedua, dan guru kepala. (56) Selain itu dibangun pula sebuah gedung Sekolah Privat (Externenschool) yang terletak di samping gedung utamanya. Sekolah itu dimaksudkan sebagai tempat praktek bagi murid-muridnya. (57) Dengan demikian, murid-murid Sekolah Raja tidak perlu pergi praktek ke rumah Sekolah Agam, yang jaraknya relatif jauh. Akan tetapi Sekolah Raja itu dikuidasi oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1933 dan sebagai gantinya didirikanlah M.U.L.O. (58) Selain sekolah Raja itu, sejak awal abad ke- 20seiring dengan dicanagkannya Politik Etis oleh pemerintah, maka didirikan pula Hollandsche Inlandsche School (HIS) di Jirek, HIS di dekat Rumah Sakit, HIS di dekat kantor Controleur, HIS di Panorama (Atas Ngarai), Europa School (di SMP Negeri 1 sekarang), Hollansche Chinese School (di belakang SMP Negeri 1 sekarang), dan sebagainya.
c. Kebun Binatang
Ide untuk mendirikan kebun binatang mulai muncul pada tanggal 3 Juli1929 . Pada waktu Asisten Residen Agam, Groeneveld yang juga merangkap sebagai Ketua Dewan Kota Bukittinggi, bertemu dengan J. Heck, seorang dokter hewan, dan Edwarf Jacobson, seorang hartawan Belanda. Mereka menyepakati untuk membangun sebuah kebun binatang untuk menambah daya tarik kota Bukittinggi. Groeneveld menyarankan supaya kebun binatang itu dibangun di Bukit Malambuang karena di (atau beberapa orang guru Melayu. Besluit van Gouverneur Generaal No.275 , tanggal 16 Desember1872 ). sana sudah ada Taman Bunga (Starmpark) yang dibangun pada tahun1900 . Taman itu berbentuk "segi tiga" dengan luas3 . 362meter2. Adapun batas-batasnya di sebelah Timur dengan Jalan Cindua Mato, sebelah Utara dengan Jalan Ofotan, dan sebelah Barat dengan Kampung Cina. Pada bulan Juli1929 , setelah beberapa kandang sudah selesai dibangun, maka mulailah difungsikan kebun binatang itu. Pada waktu itu binatang yang dipelihara adalah binatang kecil, seperti kelinci, ayam hutan, dan burung kuaw. Binatang besar dan buas, seperti harimau, macan tutul, beruang hitam, orang hutan, ular, buaya, anoa, dan banteng liar, baru dimasukan pada tahun 1931. Pada waktu itu dimasukkan harimau, macan tutul, beruang hitam, orang hutan, ular, buaya, anoa, banteng liar. Semakin lama koleksi satwa di kebun binatang semakin lengkap yang dipelihara, sehingga pada tahun 1941sudah tedapat 155 jenis satwa. Kebun binatang itu dilengkapi dengan sebuah Rumah Adat Minangkabau yang dibangun pada tahun1935 . Rumah adat itu berukuran36 , 5x 10 meter dan memiliki 7 gonjong dengan anjungan di kedua sisinya. Model rumah gadang itu dinamakan Rumah Gadang Gajah Maharam. Rumah Adat itu difungsikan sebagai museum yang mengoleksi berbagai hasil-hasil kebudayaan Minangkabau. Kemudian, pada tahun 1955 dan 1956 di halamannya dibangun pula dua buah lumbung: yaitu si bayau-bayau yang bertiang enam dan sitinjau laut yang bertiang empat. Pada waktu itu kebun binatang Bukittinggi tercatat sebagai yang terbersih dan terindah di Indonesia.

Akan tetapi sejak masa pemerintahan Jepang kebun binatang itu mulai terabaikan. Hal itu berlanjut pada masa Perang Kemerdekaan dan nasib kebun binatang itu semakin memprihatinkan. Melihat kondisi yang demikian para pembesar Belanda yang berada di Bukittinggi bermaksud untuk membawa semua satwa itu ke kebun binatang Rangunan, Jakarta. Beberapa kandang kerangkeng disiapkan untuk itu. Namun, bersamaan dengan itu Kerajaan Belanda menmberikan pengakuannya atas kedaulatan Indonesia, sehingga pemindahan itu tidak jadi terlaksana. Situasi politik itu telah menyelamatkan kebun binatang Bukittinggi dari kepindahannya. Sepanjang sejarahnya nama Kebun Binatang (1929) sudah berganti beberapa kali. Sebelumnya bernama Kebun Bunga (1900), kemudian ditukar menjadi Taman Puti Bungsu (1956), dan sekarang bernama Taman Bundo Kanduang (1970).

d. Jam Gadang
Jam Gadang atau Jam Besar yang menjadi landmark kota Bukittnggi dibangun pada tahun1926 . Arsiteknya, Yazid St. Gigiameh adalah seorang Minangkabau. Jam Gadang dibangun di atas puncak bukit yang tertinggi dan menghadap ke arah Gunung Merapi. Alas atau dasarnya memiliki diameter 13 m, puncaknya memiliki diameter80 cm, sedangkan tingginya 26 m. Jam Gadang ini merupakan hadiah dari Ratu Juliana kepada ControleurOud Agam, H.R. Rookmaker (1923-1927) yang sekaligus menjabat sebagai "walikota" Bukittinggi. Jam gadang berbentuk empat persegi dan masing-masing sisi di puncaknya dipasang sebuah jam besar. Oleh masyarakat setempat jam besar tersebut disebut Jam Gadang, sehingga bangunan itu lebih dikenal dengan nama Jam Gadang. Pada awalnya puncak Jam Gadang dibuat setengah lingkaran, seperti kubah masjid. Di atasnya dipasang sebuah patung ayam jago yang sedang berkokok dengan posisi menghadap ke Timur. Patung itu sengaja di buat demikian untuk menyindir masyarakat Agam Tuo yang kesiangan. Kemudian pemerintah Jepang menukar puncaknya itu dengan atap bertingkap, seperti pagoda. Setelah kemerdekaan atap Jam Gadang itu pun ditukar dengan gonjong rumah adat, sehingga mencerminkan nuansa keminangkabauannya. Selain itu, untuk mempercantik kota dibeli pula lampu mercuri untuk jalan raya, dibuat patung-patung harimau, dan taman air mancur. Dana yang dikeluarkan untuk membangun menara "Jam Gadang" dan membeli4 (empat) buah jam, dan membangun taman-taman kota mencapai f.15 .000,-59 Hal itu dapat dilakukan karena pendapatan pasar Bukittiggi semakin baik. Pada tahun 1926 sudah mencapai f.28 .000,-. 60Di sebelah Selatan pelataran Jam Gadang dibangun terminal bus. Terus ke arah Selatan terdapat bangunan kantor Asisten Residen Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan bersebelahan dengan rumah dinasnya. Komplek inilah yang sekarang dijadikan Istana Negara "Bung Hatta". Pada sebelah Barat pelataran Jam Gadang didirikan Pom Bensin yang bersebelahan dengan Kontor Polisi dan di seberangnya terdapat kantor Controleur Oud Agam. Pada sebelah Utara pelataran Jam Gadang dijadikan sebagai tempat perhentian bendi dan diseberangnya berdiri rumah toko dan Loih Galuang beserta beberapa loods lainnya. Sedangkan di bagian Timurnya terdapat jalan raya ke arah Selatan yang menjadi jalan utama di kota Bukittinggi.

e. Komplek Tentara
Pada awalnya komplek tentara/garnizun Belanda dibangun di sekitar Benteng de Kock sampai ke kaki bukit di bawahnya. Di sana dibangun rumah sakit, kolam renang, dan lapangan, serta kuburan Belanda. Akan tetapi sejak tahun1861 , setelah Belanda membeli kawasan Selatan Bukittinggi, komplek tentara itu dipindahkan ke sini. Di kawasan itu dibangun sejumlah rumah perwira, yang terletak di pinggir jalan utama, perkantoran tentara yang berhadapan dengan lapangan, serta beberapa blok asrama prajurit. Pada masa awal masa Pendudukan Jepang komplek tentara itu digunakan untuk lokasi Sekolah Militer Gyu gun. Sedangkan, setelah kemerdekaan dimanfaatkan untuk lokasi Sekolah Kadet.

5. Penutup
Bukittinggi merupakan sebuah kota dataran tinggi yang strategis, mempunyai pemandangan alam yang indah. Pada satu sisi, faktor alam ini telah menjadi pendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan kota Bukittinggi, sehingga menjadi kota terpenting di Sumatera Barat. Pada sisi lain, faktor alam itu pun menjadi penghambat perkembangan keruangan kotanya, kecuali ke arah Selatan yang daerahnya relatif datar. Daerah Selatan dapat disebut menjadi daerah yang terbuka karena didukung pula oleh posisinya yang mengarah ke Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat. Cikal bakal kota Bukittinggi dapat dirunut kepada pasar tradisional Nagari Kurai, yang kemudian berkembang menjadi jantung Kota Bukittinggi. Kemudian, setelah kedatangannya Belanda mengembangkan daerah itu menjadi kota dengan membangun berbagai infrastrukturnya, mulai dari perkantoran, pasar, jalan dan selokan, serta berbagai prasarana wisata. Pemanfataan keruangan kota secara secara tepat guna dan efektif telah menampilkan sosok kota yang alamidan berwawasan lingkungan. Akan tetapi, keserasian wajah kota Bukittinggi itu sekarang terabaikan, baik oleh warga maupun oleh pemerintahan kotanya karena lebih mengutamakan aspek ekonomi dari pada yang lainnya. Pembangunan berbagai infrastruktur kota, menjadi tidak efektif karena tidak mempertimbangkan topografisnya. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa permbangunan kota Bukititinggi sekarang dan juga kota-kota di Indonesia lainnya, terlihat kurang memperhatikan faktor kesejarahannya. Hal lain yang dapat dikemukakan bahwa dengan berkuasanya apemerintah kolonial Belanda juga telah merubah kepemilikan tanah di Bukittinggi. Tanah ulayat (harta pusaka) yang semula tidak boleh dipindahtangankan atas "tekanan" pemerintah (juga sekarang) tidak saja dapat disewakan, tetapi juga dapat diperjualbelikan. Pada akhirnya, penduduk asli Bukittinggi (masyarakat Kurai) juga mengalami peminggiran kerana semakin tingginya arus urbanisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar