Rabu, 18 Februari 2009

Kota Bukittinggi


Peta lokasi Kota Bukittinggi
Koordinat : 100,210° - 100,25° BT
00,160° - 100,25° LS
Motto: Saayun Salangkah'
Provinsi : Sumatera Barat
Luas : 25,24 km²
Penduduk
• Jumlah : 100.254 (2004)]
• Kepadatan : 3.970 jiwa/km²
Pembagian administrative :
• Kecamatan : 3
• Desa/kelurahan : 24

Geografi
Secara geografis Bukittinggi terletak antara 100,210 – 100,250 derajat bujur timur dan antara 00.760 – 00,190 derajat lintang selatan dengan ketinggian 909 – 941 meter diatas permukaan laut, berudara sejuk dengan suhu berkisar antara min 16,10 – 24,90 max
Kota Bukittinggi adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Kota ini memiliki luas wilayah 25,24 km² dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 100.000 jiwa. Letaknya sekitar 2 jam perjalanan lewat darat (90 km) dari ibukota provinsi Padang. Bukittinggi dikelilingi tiga gunung berapi yaitu Gunung Singgalang, Gunung Marapi dan Gunung Sago.
Kota yang merupakan kota kelahiran Bung Hatta, adalah sebuah kota budaya di Sumatera Barat dan terkenal dengan Jam Gadang yang merupakan simbol kota Bukittinggi.
Selain memiliki potensi objek wisata, kota berhawa sejuk ini merupakan salah satu daerah tujuan utama dalam bidang perdagangan di pulau Sumatera. Bukittinggi telah lama dikenal sebagai pusat penjualan konveksi yang tepatnya berada di Pasar aur kuning.
Sejarah
Semasa pemerintahan Belanda, Bukittinggi selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan, dari apa yang dinamakan Gemetelyk Resort berdasarkan Stbl tahun 1828. Belanda telah mendirikan kubu pertahanannya pada tahun 1825, yang sampai sekarang kubu pertahanan tersebut masih ada dam dikenal sebagai Benteng Fort De Kock. Kota ini telah digunakan juga oleh Belanda sebagai tempat peristirahatan opsir-opsir yang berada di wilayah jajahannya.[1]
Pada masa pemerintahan Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintah militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand, karena disini berkedudukan komandan Militer ke 25. Pada masa ini Bukittinggi berganti nama dari Taddsgemente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari Sianok, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba dan Bukit Batabuah yang sekarang kesemuanya itu kini berada dalam daerah Kabupaten Agam, di Kota ini pulalah bala tentara Jepang mendirikan pemancar radio terbesar untuk pulau Sumatera dalam rangka mengibarkan semangat rakyat untuk menunjang kepentingan perang Asia Timur Raya versi Jepang.[1]
Pada masa perjuangan kemerdekaan RI, Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan. Dari bulan Desember 1948 sampai dengan bulan Juni 1949, Bukittinggi ditunjuk sebagai ibukota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ( PDRI ), setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Selanjutnya Bukittinggi pernah menjadi ibukota propinsi Sumatera dengan gubernurnya Mr. Tengku Muhammad Hasan. Kemudian dalam PP Pengganti undang-undang No. 4 tahun 1959, Bukittinggi ditetapkan sebagai ibukota Sumatera Tengah yang meliputi keresidenan-keresidenan Sumatera Barat, Jambi dan Riau yang sekarang masing-masing keresidenan itu telah menjadi provinsi sendiri
Bukittinggi dalam kehidupan ketatanegaraan semenjak zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang serta zaman kemerdekaan dengan berbagai variasinya tetap merupakan pusat Pemerintahan Sumatera bahagian Tengah maupun Sumatera secara keseluruhan, bahkan Bukittinggi pernah berperan sebagai Pusat Pemerintahan Republik Indonesia setela Yogyajarta diduduki Belanda dari bulan Desember 1948 sampai dengan bulan Juni 1949.
Semasa pemerintahan Belanda dahulu, Bukittinggi oleh Belanda selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan, dari apa yang dinamakanGemetelyk Resort berdasarkan Stbl tahun 1828. Belanda telah mendirikan kubu pertahanannya tahun 1825, yang sampai sekarang kubu pertahanan tersebut masih dikenal dengan Benteng " Fort De Kock ". Kota ini telah digunakan juga oleh Belanda sebagai tempat peristirahatan opsir-opsir yang berada di wilayah jajahannya di timur ini.
Oleh pemerintah Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian Pemerintah militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand karena disini berkedudukan komandan Milioter ke 25. Pada masa ini Bukittinggi berganti nama dari Taddsgemente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari Sianok, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu taba dan Bukit Batabuah yang sekarang kesemuanya itu kini berada dalam daerah Kabupaten Agam, di Kota ini pulalah Pemerintah bala tebtara Jepang mendirikan pemancar Radio terbesar untuk pulau Sumatera dalam rangka mengibarkan semangat rakyat untuk menunjang kepentingan peramg Asia Timur Raya versi Jepang.
Pada zaman perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan. Dari bulan Desember 1948 sampai dengan bulan Juni 1949 ditunjuk sebagai Ibu Kota Pemerintahan darurat Republik Indonesia ( PDRI ), setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.
Selanjutnya Bukittinggi pernah menjadi Ibukota Propinsi Sumatera dengan Gubernurnya Mr. Tengku Muhammad Hasan. Kemudian dalam peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang No. 4 tahun 1959 Bukittinggi ditetapkan sebagai Ibu Kota Sumatera Tengah yang meliputi keresidenan-keresidenan Sumatera Barat, Jambi dan Riau yang sekarang masing-masing Keresidenan itu telah menjadi Propinsi-propinsi sendiri.
Setelah keresidenan Sumatera Barat dikembangkan menjadi Propinsi Sumatera Barat, maka Bukittinggi ditunjuk sebagai Ibu Kota Propinsinya,. semenjak tahun 1958 secara defacto Ibukota Propinsi telah pindah ke Padangnamun secara deyuire barulah tahun 1978 Bukittinggi tidak lagi menjadi Ibukota Propinsi Sumatera Barat, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1979 yang memindahkan Ibukota Propinsi Sumatera Barat ke Padang.
Sekarang ini Bukittinggi berstatus sebagai kota madya Daerah Tingkat II sesuai dengan undang-undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok Pemerintah di Daerah yang telah disempurnakan dengan UU NO. 22/99menjadi Kota Bukittinggi.

secara ringkas perkembangan Kota Bukittinggi dapat diloihat sebagai berikut :
A. Pada Masa Penjajahan Belanda
Semula sebagaiGeemente Fort De Kock dan kemudian menjadi Staadgemente Fort De Kock, sebagaimana diatur dalam Staadblad No. 358 tahun 1938 yang luas wilayahnya sama dengan wilayah Kota Bukittinggi sekarang.

B. Pada Masa Penjajahan Jepang
Pada masa ini Bukittinggi bernama Shi Yaku Sho yang wilayahnya lebih luas dari Kota Bukittingggi sekarang ditambah dengan nagari-nagari Sianok, Gadut, Ampang Gadang, BAtu taba dan Bukit Batabuah.

C. Pada Masa Kemerdekaan Sampai Sekarang
1. Pada masa permulaan proklamasi, luas wilayah Bukittinggi sama seperti sekarang ini dengan Waliktanya yang pertama yaitu Bermawi Sutan Rajo Ameh.
2. Kota Bukittinggi dengan ketetapan Gubernur Propinsi Sumatera No. 391 tanggal 9 Juni 1947 tentang pembentukan Kota Bukittinggi sebagai Kota yang berhak mengatur dirinya sendiri.
3. Kota Besar Bukittinggi sebagaimana yang diatur Undang-undang No. 9 tahun 1956 tentang Pembentukan Otonom Kota Besar Bukittinggi dalam lingkungan Propinsi Sumatera Tengah jo Undang-undang Pokok tentang Pemerintah Daerah No. 22 tahun1960.
4. Kotapraja Bukittinggi, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pemerintah Daerah No. 1 tahun 1957 jo. Pen. Prs. No. 6 tahun 1959 jo. Pen. prs. No. 5 tahun 1960.
5. Kotamadya Bukittinggi sebagai mana diatur dalam Undang-undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah.
Pimpinan Pemerintah Daerah, baik sebagai pejabat senentara ( Pjs ) atau sebagai pejabat (Pj), maupun sebagai Walikota Pilihan (KDH) dapat diterakan sebagai berikut :
1. Bermawi Sutan RAjo Ameh
2. Iskandar Teja KUsuma
3. Jamin Dt. BAgindo
4. Aziz Karim
5. Enin Karim
6. Saadudin Jambek
7. Nauman Jamil Dt. Mangkuto Ameh
8. MB. Dt. Majo Basa Nan Kuning
9. Syahbuddin LAtif Dt. Sibungsu
10. Dr. S. Rivai
11. Bahar Kamil Marah Sutan
12. Anwar Maksum Marah Sutan
13. M. Asril, SH
14. A. Kamal, SH
15. Drs. Masri
16. Drs. Oemar Gaffar
17. Drs. B. Barhanudin
18. Drs. Hasan Basri ( PLT. Walikota )
19. Armedi Agus
20. Drs. Rusdi Lubis ( PLT Walikota )
21. Drs. H. Djufri
22. Drs. H. Oktisir Sjovijerli Osir ( PLT. Walikota )
23. Drs. H. Djufri ( Sampai sekarang )
Dengan bermacam ragamnya status maupun fungsi yang diemban Bukittinggi seperti yang diuraikan diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa Bukittinggi memang cukup strategis letaknya dan ditunjang pula oleh hawanya yang sejuk, karenaterletak di jajaran Bukit Barisan.
Dilihat dari segi sosial kemasyarakatan, Bukitinggi tidak kurang pula perannya, baik dalam ukuran regional, Nasiopnal mupun Internasional. Dikota ini sering diadakan rapat-rapat kerja Pemerintah, Pertemuan-pertemuan ilmiah, kongres-kongres oleh organisasi kemasyarakatan dan lain sebagainya.

Mohammad Hatta
Perkembangan Bukittinggi tidak bisa dipisahkan dari toko ini, Dr.(H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta, lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902 – wafat di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Bandar udara internasional Jakarta menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasanya sebagai salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia.
Nama yang diberikan oleh orang tuanya ketika dilahirkan adalah Muhammad Athar. Anak perempuannya bernama Meutia Hatta menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta.
Hatta lahir dari keluarga ulama Minangkabau, Sumatera Barat. Ia menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu, Bukittinggi, dan pada tahun 1913-1916 melanjutkan studinya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang. Saat usia 13 tahun, sebenarnya ia telah lulus ujian masuk ke HBS (setingkat SMA) di Batavia (kini Jakarta), namun ibunya menginginkan Hatta agar tetap di Padang dahulu, mengingat usianya yang masih muda. Akhirnya Bung Hatta melanjutkan studi ke MULO di Padang. Baru pada tahun 1919 ia pergi ke Batavia untuk studi di Sekolah Tinggi Dagang "Prins Hendrik School". Ia menyelesaikan studinya dengan hasil sangat baik, dan pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke Rotterdam, Belanda untuk belajar ilmu perdagangan/bisnis di Nederland Handelshogeschool (bahasa inggris: Rotterdam School of Commerce, kini menjadi Universitas Erasmus). Di Belanda, ia kemudian tinggal selama 11 tahun.
Pada tangal 27 November 1956, Bung Hatta memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada di Yoyakarta. Pidato pengukuhannya berjudul "Lampau dan Datang".
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond Cabang Padang. Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. Di Batavia, ia juga aktif di Jong Sumatranen Bond Pusat sebagai Bendahara. Ketika di Belanda ia bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah berkembang iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Ernest Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai orang buangan akibat tulisan-tulisan tajam anti-pemerintah mereka di media massa.
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.
Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. “Aku kagum melihat cara Abdul Moeis berpidato, aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu setengah parau, terpesona oleh ayun katanya. Sampai saat itu aku belum pernah mendengarkan pidato yang begitu hebat menarik perhatian dan membakar semangat,” aku Hatta dalam Memoir-nya. Itulah Abdul Moeis: pengarang roman Salah Asuhan; aktivis partai Sarekat Islam; anggota Volksraad; dan pegiat dalam majalah Hindia Sarekat, koran Kaoem Moeda, Neratja, Hindia Baroe, serta Utusan Melayu dan Peroebahan.
Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas ia bertolak ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini, Hatta mulai aktif menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera, “Namaku Hindania!” begitulah judulnya. Berkisah perihal janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah musafir dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya. “Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga lebih mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku,” rutuk Hatta lewat Hindania.
Pemuda Hatta makin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam bacaan, pengalaman sebagai Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan asal Minangkabau yang mukim di Batavia, serta diskusi dengan temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan. Saban Sabtu, ia dan Bahder Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling kota, mereka bertukar pikiran tentang berbagai hal mengenai tanah air. Pokok soal yang kerap pula mereka perbincangkan ialah perihal memajukan bahasa Melayu. Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu diadakan suatu majalah. Majalah dalam rencana Bahder Djohan itupun sudah ia beri nama Malaya. Antara mereka berdua sempat ada pembagian pekerjaan. Bahder Djohan akan mengutamakan perhatiannya pada persiapan redaksi majalah, sedangkan Hatta pada soal organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun, “Karena berbagai hal cita-cita kami itu tak dapat diteruskan,” kenang Hatta lagi dalam Memoir-nya.
Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama dengan percetakan surat kabar Neratja. Hubungan itu terus berlanjut meski Hatta berada di Rotterdam, ia dipercaya sebagai koresponden. Suatu ketika pada medio tahun 1922, terjadi peristiwa yang mengemparkan Eropa, Turki yang dipandang sebagai kerajaan yang sedang runtuh (the sick man of Europe) memukul mundur tentara Yunani yang dijagokan oleh Inggris. Rentetan peristiwa itu Hatta pantau lalu ia tulis menjadi serial tulisan untuk Neratja di Batavia. Serial tulisan Hatta itu menyedot perhatian khalayak pembaca, bahkan banyak surat kabar di tanah air yang mengutip tulisan-tulisan Hatta.
Hatta mulai menetap di Belanda semenjak September 1921. Ia segera bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah tersedia iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai eksterniran akibat kritik mereka lewat tulisan di koran De Expres. Kondisi itu tercipta, tak lepas karena Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) menginisiasi penerbitan majalah Hindia Poetra oleh Indische Vereeniging mulai 1916. Hindia Poetra bersemboyan “Ma’moerlah Tanah Hindia! Kekallah Anak-Rakjatnya!” berisi informasi bagi para pelajar asal tanah air perihal kondisi di Nusantara, tak ketinggalan pula tersisip kritik terhadap sikap kolonial Belanda.
Di Indische Vereeniging, pergerakan putra Minangkabau ini tak lagi tersekat oleh ikatan kedaerahan. Sebab Indische Vereeniging berisi aktivis dari beragam latar belakang asal daerah. Lagipula, nama Indische –meski masih bermasalah– sudah mencerminkan kesatuan wilayah, yakni gugusan kepulauan di Nusantara yang secara politis diikat oleh sistem kolonialisme belanda. Dari sanalah mereka semua berasal.
Hatta mengawali karir pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922, lagi-lagi, sebagai Bendahara. Penunjukkan itu berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika terjadi pergantian pengurus Indische Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh Hermen Kartawisastra. Momentum suksesi kala itu punya arti penting bagi mereka di masa mendatang, sebab ketika itulah mereka memutuskan untuk mengganti nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging dan kelanjutannya mengganti nama Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah pilihan nama bangsa yang sarat bermuatan politik. Dalam forum itu pula, salah seorang anggota Indonesische Vereeniging mengatakan bahwa dari sekarang kita mulai membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau Nederland Indie.
Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda, dan di sinilah ia bersahabat dengan nasionalis India, Jawaharlal Nehru. Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan Hatta ditangkap pemerintah Belanda. Hatta akhirnya dibebaskan, setelah melakukan pidato pembelaannya yang terkenal: Indonesia Free.
Pada tahun 1932 Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Belanda kembali menangkap Hatta, bersama Soetan Sjahrir, ketua Club Pendidikan Nasional Indonesia pada bulan Februari 1934. Hatta diasingkan ke Digul dan kemudian ke Banda selama 6 tahun.
Pada tahun 1945, Hatta secara aklamasi diangkat sebagai wakil presiden pertama RI, bersama Bung Karno yang menjadi presiden RI sehari setelah ia dan bung karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena peran tersebut maka keduanya disebut Bapak Proklamator Indonesia.

Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal 18 Nopember 1945 di Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek

Buya Hamka
Dan satu lagi tokoh Fenomenal dari Minangkabau yang tak dapat dipisahkan dari perkembangan Bukittinggi dan Sumatera Barat, HAMKA (1908-1981) nama sebenarnya adalah Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah.Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya adalah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenal sebagai sebagai Haji Rasul, seorang Pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sepulangnya dari Makkah pada tahun 1906.
HAMKA pendidikan di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas 2. Ketika usia HAMKA 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Disitulah HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pelajaran agama di surau dan mesjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, RM Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo.
HAMKA adalah seorang guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. HAMKA kemudian dilantik pengajar di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957-1958. Setelah itu beliau dilantik sebagai Rektor Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau dilantik sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia dan aktif juga di Majlis Syura Muslim Indonesia (MASYUMI).
HAMKA lebih banyak belajar sendiri meliputi pelbagai bidang ilmu pengetahuan seperti falsafah, kesusastraan, sejarah, sosiologi dan politik baik Islam atau Barat.Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat mempelajari karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga beliau mempelajari karya sarjana Perancis, Inggeris, dan Jerman seperi Albert Camus, William James, Freud,Toynbee, Jean Sartre, Karl Marx dan Piere Loti. HAMKA juga rajin membaca dan bertukar fikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta HOS Chokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fakhrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang pemidato yang handal.
HAMKA juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau menyertai pertubuhan itu mulai tahu 1925 bagi menentang khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cawangan Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makasar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S. Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Jogjakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Julai 1957, Menteri Agama Indonesia iaitu Mukti Ali melantik HAMKA sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 kerana nasihatnya diketepikan oleh kerajaan Indonesia.
Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 apabila beliau menjadi anggota parti politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kemaraan kembali penjajah Belanda ke melalui pidato dan menyertai kegiatan gerila di dalam hutan di Medan . Pada tahun 1947, HAMKA dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, . Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, HAMKA telah dipenjarakan oleh Presiden Sukarno kerana dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mula menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.
HAMKA pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormat Doktor Honoris Causa, Universiti al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universiti Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno daripada kerajaan Indonesia.
HAMKA telah pulang ke rahmatullah pada 24 Julai 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk dan Singapura, turut dihargai.

Pariwisata
Bukittinggi memiliki julukan sebagai "kota wisata" karena banyaknya objek wisata yang terdapat di kota ini. Lembah Ngarai Sianok merupakan salah satu objek wisata utama. Taman Panorama yang terletak di dalam kota Bukittinggi memungkinkan wisatawan untuk melihat keindahan pemandangan Ngarai Sianok. Di dalam Taman Panorama juga terdapat gua bekas persembunyian tentara Jepang sewaktu Perang Dunia II yang disebut sebagai 'Lobang Jepang'.
Di Taman Bundo Kanduang terdapat replika Rumah Gadang yang berfungsi sebagai museum kebudayaan Minangkabau, kebun binatang dan benteng Fort de Kock yang dihubungkan oleh jembatan penyeberangan yang disebut Jembatan Limpapeh. Jembatan penyeberangan Limpapeh berada di atas Jalan A. Yani yang merupakan jalan utama di kota Bukittinggi
Pasar Atas berada berdekatan dengan Jam Gadang yang merupakan pusat keramaian kota. Di dalam Pasar Atas yang selalu ramai terdapat banyak penjual kerajinan bordir dan makanan kecil oleh-oleh khas Sumatera Barat seperti Keripik Sanjai yang terbuat dari singkong, serta Kerupuk Jangek (Kerupuk Kulit) yang terbuat dari kulit sapi atau kerbau dan [Karak Kaliang]], sejenis makanan kecil khas Bukittinggi yang berbentuk seperti angka 8.
Danau Maninjau terletak sekitar 36 km atau sekitar 45 menit perjalanan dengan mobil dari kota Bukittinggi. Secara geografis, Bukittinggi, terdiri dari bukit-bukit. Oleh sebab itu jalanya mendaki dan menurun, berdsarkan bukit itulah kemudian, pemerintahan dibagi (sebelum Orde Baru memecahnya ke dalam Kelurahan), ke dalam 5 jorong (Guguak Panjang, Mandiangin Koto Selayan, Bukit Apik Pintu Kabun, Aua Birugo, dan Tigo Baleh).
Dan pada saat ini juga telah dibangun pusat perbelanjaan modern di bukittinggi.
Hotel-hotel yang terdapat di kota Bukittinggi antara The Hills (sebelumnya Novotel), Hotel Pusako, dan hotel-hotel lainnya.
Gunung Singgalang
Gunung Singgalang merupakan sebuah gunung yang terdapat di provinsi Sumatera Barat, Indonesia dan mempunyai ketinggian 2,877 meter. Gunung Singgalang mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.
Dari bentuknya, gunung ini sangat mirip dengan Gunung Merbabu di Jawa Tengah. Gunung ini mempunyai telaga di puncaknya yang merupakan bekas kawah, Telaga itu dinamai Telaga Dewi. Singgalang sudah tidak aktif lagi dan hutannya sangat lembap karena kandungan air yang banyak.

Gunung Marapi
Gunung Marapi (juga dikenal sebagai Merapi atau Berapi) adalah gunung berapi yang terletak di Sumatra Barat, Indonesia. Gunung ini tergolong gunung yang paling aktif di Sumatra. Terletak di dekat Bukittinggi dan memiliki ketinggian 2891,3 m. Marapi sudah meletus lebih dari 50 kali sejak akhir abad 18.
Jam Gadang
Didirikan oleh Controleur Rook Maker pada tahun 1926 yang berlokasi di pusat kota, bangunan ini dirancang oleh Putra Minangkabau Jazid dan Sutan Gigih Ameh. Jam Gadang ini merupakan lambang Kota Wisata Bukittinggi yang dikelilingi oleh taman bunga dan pohon-pohon pelindung, yang dapat memberikan kesejukan dan berfungsi sebagai alun-alun kota. Dari puncaknya kita dapat rnenikmati dan menyaksikan betapa indahnya alam sekitar Bukittinggi vang dihiasi Gunung, Merapi, Gunung Singgalang, Gunung Sago dan Ngarai Sianok. Salah satu keunikan Jam Gadang adalah angka empat yang ditulis dengan empat buah angka satu Romawi yang seharusnya ditulis dengan angka empat Romawi.
Disekitar Jam Gadang ini juga telah dibangun taman yang menambah semarak dan indahnya lokasi tersebut dengan berbagai bunga dan pepohonan serta fasilitas tempat duduk dan digunakan untuk menikmati pemandangan kota yang sangat menawan, sambil menikmati makanan spesifik. Selain itu disekitar Jam Gadang terdapat Istana Bung Hatta atau Tri Arga dan terdapat sebuah plaza yaitu Plaza Bukittinggi.
Jam Gadang adalah sebuah menara jam yang merupakan markah tanah kota Bukittinggi dan provinsi Sumatra Barat di Indonesia. Simbol khas Sumatera Barat ini pun memiliki cerita dan keunikan karena usianya yang sudah puluhan tahun.
Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek Yazid Sutan Gigi Ameh. Peletakan batu pertama jam ini dilakukan putra pertama Rook Maker yang saat itu masih berumur 6 tahun. Jam ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur (Sekretaris Kota). Pada masa penjajahan Belanda, jam ini berbentuk bulat dan di atasnya berdiri patung ayam jantan, sedangkan pada masa pendudukan Jepang, berbentuk klenteng. Pada masa kemerdekaan, bentuknya berubah lagi menjadi ornamen rumah adat Minangkabau.
Ukuran diameter jam ini adalah 80 cm, dengan denah dasar 13x4 meter sedangkan tingginya 26 meter. Pembangunan Jam Gadang yang konon menghabiskan total biaya pembangunan 3.000 Gulden ini, akhirnya menjadi markah tanah atau lambang dari kota Bukittinggi. Ada keunikan dari angka-angka Romawi pada Jam Gadang ini. Bila penulisan huruf Romawi biasanya pada angka enam adalah VI, angka tujuh adalah VII dan angka delapan adalah VIII, Jam Gadang ini menulis angka empat dengan simbol IIII (umumnya IV).
Ngarai Sianok
Ngarai Sianok adalah sebuah lembah curam (jurang) yang terletak di jantung kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Lembah ini memanjang dan berkelok dari selatan ngarai Koto Gadang sampai di Ngarai Sianok Enam Suku, dan berakhir sampai Palupuh. Ngarai Sianok memiliki pemandangan yang indah dan menjadi salah satu objek wisata utama provinsi.
Jurang ini dalamnya sekitar 100 m membentang sepanjang 15 km dengan lebar sekitar 200 m dan merupakan bagian dari patahan yang memsiahkan Pulau Sumatra menjadi dua bagian memanjang (Patahan Semangko). Patahan ini membentuk dinding yang curam, bahkan tegak lurus dan membentuk lembah yang hijau - hasil dari gerakan turun kulit bumi (sinklinal) - yang dialiri Sungai Sianok yang airnya jernih. Di zaman kolonial Belanda, jurang ini disebut juga sebagai kerbau sanget, karena banyaknya kerbau liar yang hidup bebas di dasar ngarai.
Sungai Sianok kini bisa diarungi dengan menggunakan kano dan kayak yg disaranai oleh suatu organisasi olahraga air "Qurays". Rute yang ditempuh adalah dari Desa Lambah sampai Desa Sitingkai Batang Palupuh selama kira-kira 3,5 jam. Di tepiannya masih banyak dijumpai tumbuhan langka seperti rafflesia dan tumbuhan obat-obatan. Fauna yang dijumpai misalnya monyet ekor panjang, siamang, simpai, rusa, babi hutan, macan tutul, serta tapir.
Ngarai Sianok atau Lembah Pendiang merupakan suatu lembah yang indah, hijau dan subur. Didasarnya mengalir sebuah anak sungai yang berliku-liku menelusuri celah-celah tebing dengan latar belakang Gunung Merapi dan Gunung Singgalang. Keindahan alam Ngarai Sianok mempesona, sering dijadikan bahan imajinasi para pelukis dan diabadikan oleh para wisatawan untuk diambil foto-fotonya. Ngarai Sianok terletak di pusat Kota Bukittinggi dengan panjang ± 15 km, kedalaman ± 100 m dan lebar sekitar 200 m. Pada zaman penjajahan Belanda Ngarai Sianok dikenal sebagai Kerbau Sanget karena didasar ngarai terdapat banyak kerbau lia
Benteng Fort De Kock
Benteng ini didirikan oleh Kapten Bouer pada tahun 1825 pada masa Baron Hendrik Markus De Kock sewaktu menjadi komandan Der Troepen dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda, karena itulah benteng ini terkenal dengan nama Benteng Fort De Kock. Benteng yang terletak di atas Bukit Jirek ini digunakan oleh Tentara Belanda sebagai kubu pertahanan dari gempuran rakyat Minangkabau terutama sejak meletusnya perang Paderi pada tahun 1821-1837. Disekitar benteng masih terdapat meriam-meriam kuno periode abad ke 19. Dari lokasi wisata ini kita dapat menikmati Kota Bukittinggi dan daerah sekitarnya.
Taman Panorama
Taman Panorama yang baru saja selesai direvitalisasi berlokasi di Jl. Panorama yang berjarak 1 Km dari pusat Kota Bukittinggi. Dari dalam taman ini kita menikmati pemandangan yang indah dan mempesona terutama kearah lembah Ngarai Sianok dengan latar belakang Gunung Singgalang. Di lokasi ini terdapat kios-kios souvenir khas Minangkabau, warung makanan dan minuman, tempat duduk permanen, parkir dan fasilitas lainnya.
Rumah Gadang
Rumah Gadang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau, provinsi Sumatra Barat.Rumah ini memiliki keunikan bentuk arsitektur yaitu dengan atap yang menyerupai tanduk kerbau dibuat dari bahan ijuk. Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjuang (anjung) sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu rumah Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Anjuang pada keselarasan Bodi-Chaniago tidak memakai tongkat penyangga di bawahnya, sedangkan untuk golongan kesalarasan Koto-Piliang memakai tongkat penyangga. Hal ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda, salah satu golongan menganut prinsip pemerintahan yang hirarkies menggunakan anjuang yang memakai tongkat penyangga, pada golongan lainnya anjuang seolah-olah mengapung di udara.
Danau Maninjau
Danau Maninjau adalah sebuah danau di kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Danau ini terletak sekitar 140 kilometer sebelah utara Kota Padang, ibukota Sumatera Barat, 36 kilometer dari Bukittinggi, 27 kilometer dari Lubuk Basung, ibukota Kabupaten Agam. Maninjau yang merupakan danau vulkanik ini berada di ketinggian 461,50 meter di atas permukaan laut. Luas Maninjau sekitar 99,5 km² dan memiliki kedalaman maksimum 495 meter. Cekungannya terbentuk karena letusan Gunung yang bernama Sitinjau (menurut legenda setempat), hal ini dapat terlihat dari bentuk bukit sekeliling danau yang menyerupai seperti dinding. Menurut legenda di Ranah Minang, keberadaan Danau Maninjau berkaitan erat dengan kisah Bujang Sembilan.
Danau Maninjau merupakan sumber air untuk sungai bernama Batang Antokan. Di salah satu bagian danau yang merupakan hulu dari Batang Antokan terdapat PLTA Maninjau. Puncak tertinggi diperbukitan sekitar Danau Maninjau dikenal dengan nama Puncak Lawang. Untuk bisa mencapai Danau Maninjau jika dari arah Bukittinggi maka akan melewati jalan berkelok-kelok yang dikenal dengan Kelok 44 sepanjang kurang lebih 10 KM mulai dari Ambun Pagi sampai ke Maninjau.
Danau ini tercatat sebagai danau terluas kesebelas di Indonesia. Sedangkan di Sumatera Barat, Maninjau merupakan danau terluas kedua setelah Danau Singkarak yang memiliki luas 129,69 km² yang berada di dua kabupaten yaitu Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok. Di sekitar Danau Maninjau terdapat fasilitas wisata, seperti Hotel(Maninjau Indah Hotel, Pasir Panjang Permai) serta penginapan dan restoran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar